Cara Baru Mengendalikan

Sumber:Majalah Gatra - 30 April 2008
Kategori:Sampah Jakarta

Produsen dan masyarakat wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah. TPA terbuka akan ditutup. Yang melanggar dapat masuk penjara atau didenda hingga milyaran rupiah.

Tok, tok, tok...! Wakil Ketua DPR-RI, Muhaimin Iskandar, mengetukkan palu persidangan dalam rapat paripurna DPR, Rabu dua pekan lalu. Maka, Indonesia kini resmi memiliki Undang-Undang (UU) Pengelolaan Sampah. ''Undang-undang sampah ini merupakan revolusi pengelolaan sampah. Tak lama lagi, masyarakat akan mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat,'' kata Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar.

Maka, jalan-jalan dan sungai-sungai kota bakal bersih, gunung-gunung sampah akan musnah. Barang siapa yang dinilai berjasa mengurangi sampah bakal mendapat duit. Bahkan yang merasa terkena dampak negatif kegiatan penanganan sampah pun bisa memperoleh kompensasi. Yah... semua hal yang indah itu akan terjadi jika undang-undang sampah benar-benar diterapkan. Sebanyak 49 pasal dalam 18 bab menjanjikan itu semua.

Perangkat hukum itu, menurut Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik dan Usaha Skala Kecil (Plt), Kementerian Lingkungan Hidup, Tri Bangun Laksono, telah menegaskan bahwa sampah sudah menjadi urusan pelayanan publik secara nasional. ''Karena itu, penanganan sampah harus secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir,'' tutur Tri.

Urusan sampah memang jangan dianggap remeh. Sampah itu, kata Tri, ibarat buaya. ''Orang tak berani dekat-dekat karena memang berbahaya bagi kesehatan,'' katanya. Sang ''buaya'' ini juga bisa merenggut nyawa.

Buktinya, lihat saja apa yang terjadi ketika terjadi longsoran dahsyat gunung sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, di perbatasan Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi. Longsoran itu meluluhlantakkan Kampung Pojok, Desa Cireundeu, Cimahi, dan Kampung Cilimus, Batujajar, Bandung, yang terletak sekitar 1 kilometer dari gunung sampah Leuwigajah. Setidaknya 315 warga kehilangan tempat tinggal dan 112 jiwa melayang.

Ancaman buaya sampah itu tentu tak berhenti. Soalnya, ''Makin banyak sumber sampah baru,'' kata Tri. Sumber itu, antara lain, berasal dari gaya hidup masyarakat yang serba ''sekali pakai-buang''. ''Kalau dibiarkan terus, bakal tak ada lahan lagi yang mampu menampung sampah,'' ujar Tri. Karena itulah, sampah harus diperangi. Kewajiban untuk berperang itu terutama diemban pemerintah kabupaten/kota, seperti yang termaktub pada Pasal 9.

Pemerintah akan menetapkan lokasi tempat pembuangan sementara dan tempat pengolahan sampah terpadu. ''Undang-undang ini juga melarang sistem tempat pembuangan sampah terbuka (open dumping),'' kata Tri. Pemerintah pun wajib memantau dan mengevaluasi lokasi pembuangan itu setiap enam bulan sampai 20 tahun, termasuk lokasi sampah yang telah ditutup. Tapi, jika tempat pembuangan ditutup, sampah-sampah itu akan dibuang ke mana?

Nah, ini ada hubungannya dengan metode pengumpulan sampah yang diwajibkan beleid itu. Selama ini, sampah hanya di kumpulkan, diangkut, lalu dibuang. Sampah-sampah itu tak diolah sama sekali, hanya ditumpuk di tempat terbuka (open dumping). Akibatnya, sampah makin menggunung. Selain mencemari lingkungan, petaka longsornya gunung sampah tadi dapat saja terjadi.

Karena itu, cara pengelolaan sampah baru nanti akan mengandalkan metode reduse, reuse, recycle (3R). Yakni berusaha mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah. Jadi, sampah yang ada benar-benar dimusnahkan, tak seperti pada saat ini yang terus saja ditumpuk. Untuk melaksanakan 3R, masyarakat diwajibkan memilah sampah lebih dulu menjadi sampah organik dan non-organik sebelum diangkut tukang sampah.

Maka, jangan heran, nanti bakal ada surat edaran dari ketua RT atau RW setempat yang mewajibkan Anda menyediakan dua tempat sampah sekaligus untuk sampah-sampah yang sudah dipilah. Pengelola permukiman, kawasan komersial, industri, serta fasilitas umum dan sosial wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah seperti itu.

Perusahaan atau produsen pun dilibatkan dalam penanganan sampah. Pasal 14 undang-undang itu mewajibkan mereka mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kantong-kantong sampah mereka. Pasal 15 secara khusus menentukan bahwa produsen juga wajib mengelola kemasan sampah-sampah mereka yang tak bisa atau sulit terurai oleh proses alam.

Sampah-sampah yang telah dipilah itu nantinya diangkut Dinas Kebersihan setempat untuk diolah atau didaur ulang. ''Namun, untuk mengolah dan mendaur ulang ini, diperlukan waktu dan fasilitas yang memadai. Karena itu, pelaksanaannya bertahap,'' ujar Tri. Sebagai langkah awal, untuk tahun pertama, sekitar 50% sampah yang ada didaur ulang dan diproses, sedangkan sisanya baru dibuang ke TPA. Tahun berikutnya, porsi pengelolaan sampah makin bertambah, hingga akhirnya tak diperlukan lagi tempat pembuangan sampah terbuka. ''Karena itu, TPA-TPA itu diberi batas hingga lima tahun untuk dapat ditutup,'' kata Tri.

Jika ada yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan sampah itu, ia bakal segera diganjar dengan hukuman penjara. Mulai tiga hingga 12 tahun penjara dan denda dari Rp 100 juta sampai Rp 5 milyar untuk pengimpor sampah. Pengelola sampah yang mencemari dan menyebabkan kematian diancam pidana penjara empat hingga 15 tahun dan denda Rp 100 juta-Rp 5 milyar.

Kepala Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta, Eko Baruna, menyambut baik dan siap melaksanakan undang-undang itu. ''Sejak awal kami sudah terlibat ikut menggolkan undang-undang ini,'' katanya. Pihaknya telah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk upaya menggaet mitra usaha untuk membersihkan sampah. ''Tapi masalah ini bukan hal yang gampang,'' kata Eko. Soalnya, walaupun mengelola sampah tergolong usaha mencari untung, porsi terbanyak adalah pelayanan publik. Karena itu, menurut Eko, tak banyak perusahaan yang berminat.

Toh, Dinas Kebersihan tetap akan membuka tender untuk menggaet mitra dalam membereskan sampah, mulai April-Mei ini. Dinas Kebersihan sudah memutuskan akan memilih mitra yang dapat menjalankan teknologi pengolahan sampah yang disebut Hybrid I. ''Ini merupakan gabungan penerapan teknologi ramah lingkungan antara metode kompos dan bailing. Di antara teknologi lain, ini yang paling murah dan sesuai dengan anggaran yang kita punya,'' tutur Eko (lihat tabel).

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Slamet Daryoni, menyambut baik pengesahan Undang-Undang Pengelolaan Sampah itu. ''Ini merupakan terobosan instrumen yang baru, sebab pengolahan sampah tak lagi dilakukan secara sektoral atau sentralistik, tapi ada keseimbangan antara pemerintrah, dunia usaha, dan masyarakat,'' ujarnya.

Walau begitu, memang masih ada hal-hal yang perlu dibenahi. Misalnya soal sanksi. ''Tidak ada sanksi yang tegas bagi produsen yang mengeluarkan produk yang tidak ramah lingkungan,'' kata Slamet. Selama ini, sampah rumah tanggalah yang dianggap sebagai limbah terbanyak. Padahal, sesungguhnya, tutur Slamet, produsen juga turut bertanggung jawab karena memproduksi banyak kemasan makanan yang tidak ramah lingkungan.

Selain itu, menurut Slamet, undang-undang sampah ini perlu disertai dengan kejelasan sistem koordinasi antar-departemen atau instansi terkait. ''Penanganan sampah ini akan sangat efektif jika terjadi kekompakan kebijakan antara Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kesehatan, Pariwisata, hingga Perdagangan dan Perindustrian,'' kata Slamet. Nur Hidayat, Rach Alida Bahaweres, dan Elmy Diah Larasati



Post Date : 30 April 2008