|
BUANGLAH sampah pada tempatnya. Kalimat itu sering kita jumpai di berbagai tempat baik dalam bentuk stiker, tulisan papan, maupun bentuk lainnya. Singkat kata, tak sulit bagi kita menemukan imbauan sederhana itu. Sayangnya, tak banyak yang mau mematuhi pesan tersebut. Di bis, mobil, kereta, pasar, dan banyak tempat lainnya, sampah dibuang begitu saja. Jadi, jangan heran kalau di sepanjang jalan, sampah bertebaran di mana-mana. Kondisinya kian parah ketika kita berada di tempat penampungan sementara (TPS) sampah. Aroma bau menyengat menebar ke segala penjuru. Maklum, petugas kebersihan kewalahan mengangkut sampah-sampah tersebut. Sampah itu akhirnya membusuk tak terurus. Seribu satu macam alasan dilontarkan. Mulai dari keterbatasan truk pengangkut sampah yang tidak sebanding dengan volume sampah, sampai ketidakdisiplinan warga dalam membuang sampah. Jangankan memilah sampah antara yang organik dan nonorganik, membuang sampah pada tempatnya pun masih serba semrawut. Selokan, got, dan sungai pun menjadi penampungan aneka rupa sampah. Seperti inilah potret situasi sampah di kota-kota besar di Indonesia masa kini. Terkesan Asal-asalan Fenomena serupa juga terjadi di tingkat pengambil keputusan, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Pemilihan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah terkesan asal-asalan. Sudah begitu, pengelola sangat jarang memberikan sosialisasi kepada warga sekitar. Dampaknya mudah terlihat. Warga memprotes kehadiran TPA tersebut. Itulah yang baru saja terjadi di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Desa Bojong, Bogor. Kemarahan warga mestinya tidak perlu terjadi lagi ketika bangunan TPST itu sudah mendekati siap operasional. Pengalaman memang guru terbaik. Kita berharap, sejarah kelabu semacam itu tak terjadi lagi di masa depan. Penentuan lokasi seharusnya disurvei dari berbagai aspek. Jangan semata mengandalkan jarak yang strategis dari jalan raya, namun melupakan jarak TPA dengan permukiman warga di sekitar lokasi. Soal jenis tanah juga perlu diketahui. Jangan sampai tanahnya mudah longsor. Begitu juga dengan tingkat kemiringan lereng. Tidak mudah memang menentukannya. Karena itulah perencanaan yang matang dan akurat diperlukan. Salah satunya melalui teknologi penginderaan jauh, baik melalui citra satelit maupun foto udara. "Keunggulannya, data dan informasi yang diungkap lebih komprehensif dan menyeluruh," ujar Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Rudolf W Matindas MSc kepada Pembaruan, di Bogor, Rabu (3/8). Untuk mencari TPA, katanya, memang dibutuhkan citra satelit dengan resolusi tinggi dan skala besar. "Sekarang, satelit Ikonos sudah bisa dimanfaatkan untuk keperluan tersebut," tambanya. Bisa juga dengan menggunakan foto udara berskala besar (1:25.000). Ukuran skala tersebut sudah cukup memadai untuk menganalisa kesesuaian wilayah dimaksud. "Untuk kawasan Jabodetabek, kami sudah memiliki peta dengan skala besar tersebut," ungkap Matindas. Malah, untuk wilayah DKI Jakarta, Bakosurtanal sudah memiliki peta dengan skala hingga 1:10.000. "Kami siap membantu jika memang dibutuhkan," ujarnya. (B-12) Post Date : 04 Agustus 2005 |