Cadangan Air Jatiluhur Menyusut

Sumber:Pikiran Rakyat - 17 November 2006
Kategori:Air Minum
PURWAKARTA, (PR).-Seretnya pasokan air dari Waduk Cirata berimbas pada menurunnya permukaan air waduk Jatiluhur. Akibatnya, cadangan air Jatiluhur semakin merosot akibat tidak seimbangnya antara jumlah air yang masuk dan yang keluar. Pasokan air dari Cirata hanya 20,22 m3/detik, sedangkan air yang keluar dari Jatiluhur 109,19 m3/detik.

Direktur Teknik Perum Jasa Tirta (PJT) II, Achmad Godjali, S.T., mengakui, air permukaan Waduk Jatiluhur terus menurun seiring minimnya pasokan air, baik dari sekitar Jatiluhur maupun Cirata. Saat normal, pasokan dari Cirata mencapai 93-128 m3/detik. Namun sejak kemarau, cadangan air di waduk lain juga menyusut. Jika kondisi tetap seperti sekarang, cadangan air waduk akan terus menipis dan sangat merepotkan.

Ditemui "PR" di Graha Vidya Jatiluhur, Kamis (16/11), Achmad mengatakan, tinggi muka air Jatiluhur bila mencapai batas minimal yaitu 49 meter, selain enam turbin di Jatiluhur tidak bisa beroperasi, juga distribusi air untuk irigasi dan PDAM akan terganggu. "Kalau ketinggian air mencapai angka kritis, akan lebih sulit mengembalikan kondisi air ke keadaan normal. Hal itu memerlukan waktu bertahun-tahun," ujarnya.

Tinggi muka air (TMA) Waduk Jatiluhur saat ini mencapai 81,38 meter. Rabu (15/11) TMA waduk mencapai 81,59 meter. Pada kondisi normal, TMA waduk mencapai 89,81 meter hingga 92,06 meter. Demikian pula volume efektif air dalam kondisi normal sebesar 1,868 miliar m3 tetapi sekarang hanya mencapai 800,15 juta m3. Kondisi demikian diperparah lagi dengan minimnya pasokan air dari Cirata yang mengalir ke Jatiluhur, dua hari belakangan ini.

Menurut dia, kondisi terparah Jatiluhur pernah dialami saat kemarau tahun 2003. Saat itu, TMA waduk hanya 77 meter. Akibatnya, dari enam turbin, hanya satu yang masih bisa dioperasikan.

Menurut Achmad Godjali, untuk mengefektifkan pengeluaran air untuk irigasi, PJT II bersama instansi lain akan mengadakan pertemuan guna membahas rencana musim tanam tahun ini. "Pendistribusian air untuk irigasi akan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan sehingga tidak banyak air yang terbuang percuma," ujarnya.

Lingkungan rusak

Sementara itu, setiap tahun, debit air yang masuk ke Bendungan Saguling pada musim kemarau mengalami penurunan, bahkan mendekati angka 0 m3/detik. Sedangkan pada musim hujan, debit air yang masuk sudah melebihi 400 m3/detik. Kerusakan lingkungan di bagian hulu menjadi penyebab tingginya fluktuasi debit air saat musim kemarau dan musim hujan.

Moch. Hanafi N. Rifa'i, Manajer Operasi dan Niaga PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Saguling, memperlihatkan kurva harian air masuk ke Bendungan Saguling. Setiap tahun, katanya, kurva air masuk pada musim hujan dan musim kemarau semakin lebar. "Itu menunjukkan bahwa tanah sebenarnya sudah tak lagi bisa menahan air. Pada musim hujan, semuanya mengalir ke sungai lalu ke Saguling. Kalau kemarau, kering sama sekali. Itu mengindikasikan kerusakan lingkungan di bagian hulu," ujarnya, Rabu (15/11).

Pada kemarau tahun 2006, jumlah air terendah yang masuk ke Saguling hanya 4,00 m3/detik. Terjadi pada paruh kedua bulan September dan sebagian pada Oktober 2006. "Sebelumnya, tak pernah terjadi demikian. Tahun 1997 saja, di mana musim kemarau sama panjangnya dengan tahun ini, jumlah air yang masuk masih lima koma sekian meter kubik per detik," tuturnya.

Pada tahun-tahun pertama Saguling beroperasi, jumlah air tertinggi yang masuk ke bendungan hanya dalam kisaran 100-200 m3/detik dan relatif stabil sepanjang tahun. "Sekarang, jumlah tertinggi air yang masuk mencapai 400 m3/detik. Malah, sempat mencapai 600 m3/detik," ucap Hanafi.

Sedimentasi tinggi

Kerusakan lingkungan di bagian hulu, kata Hanafi, menyebabkan tingginya sedimentasi di Bendungan Saguling. Berdasarkan data terakhir, tingkat sedimentasi di bendungan tersebut mencapai 5,5 juta m3/tahun. "Padahal, saat Saguling didesain, diperkirakan sedimentasi Saguling hanya 4 juta m3/tahun. Enggak tahu mesti gimana? Kalau dikeruk, pasti enggak akan efektif. Terus, bagaimana cara mengeruknya. Soalnya, tebal sekali sedimentasinya. Dalam sejarah, baru Venezuela yang melakukan pengerukan bendungan pada tahun 2002," tutur Hanafi.

Sejauh ini, langkah-langkah yang dilakukan PT Indonesia Power UBP Saguling adalah ikut serta dalam penyadaran masyarakat soal pentingnya konservasi. "Sengaja kita melakukan sejumlah kegiatan. Khitanan massal, misalnya. Kegiatan itu kita manfaatkan untuk melakukan community development. Mudah-mudahan masyarakat peduli," katanya.

Selain itu, pihaknya juga sengaja membuat kebun pembibitan di dekat power house untuk kemudian ditanam di lokasi tertentu. "Bagaimanapun, upaya tersebut mesti dilakukan secara komprehensif agar bisa maksimal. Kalau tidak, seperti menggarami air laut saja. Enggak akan ada hasilnya," ujar Hanafi. (A-125/A-86)



Post Date : 17 November 2006