|
Selain sebagai konsultan, Budi Listyawan memiliki idealisme untuk mengurangi efek gas rumah kaca. Dia melihat penanganan sampah sekarang hanya bersifat memindahkan permasalahan sampah dari rumah tangga/rumah makan/pasar (sumber sampah) ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan selanjutnya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dengan semangat melawan NATO (No Action Talk Only) Budi mulai bergerak dari penelitian sampah organik, teknologinya sampai pada pemasaran. Nilai komersial sampah organik dibandingkan non organik masih jauh tertinggal. Sampah non organik sudah sampai tahap komersial yang dilakukan para pemulung (non formal). Dari perjuangannya meneliti pemanfaatan sampah organik, jerih payah ini Budi berhasil peroleh hak paten teknologi dari Ditjen Haki, Departemen Hukum dan HAM. Apa sih yang telah dilakukan Budi dan kawan kawan? Ternyata dia memanfaatkan cacing untuk proses pengomposan. Budi menyebutnya Teknologi VAP BL" yaitu konsep pengolahan sampah organik yang dikembangkan dari konsep vermikompos (melibatkan cacing tanah sebagai dekomposer). Selain Teknologi VAP BL" ada juga metode pengomposan biasa namun dibantu dengan inokulum untuk mempercepat proses pelapukan dan peningkatan kualitas hasil. Inokulum dikembangkan Budi sendiri dengan nama Arthadegra. Setelah yakin dengan hasil penelitiannya, Budi kemudian mensosialisasikan konsep ini kepada masyarakat melalui pertemuan RT/RW, melalui forum seminar nasional dan internasional, bahkan pada era Soeharto berhasil mendapat restu untuk mengembangkan secara besar besaran di kota metropolitan. Namun apa daya, sambutan pemerintah daerah jauh dari harapan. Budi tak menyerah dan mencoba bertahan. Namun kendala datang tak kenal kompromi. Mitra kerjanya terjebak opportunist, mereka hanya mengambil untung dari penjualan cacing, bukan untuk pengembangan vermikompos. Ditambah lagi dengan harga kompos saat itu yang tidak stabil. Bahkan upaya pemerintah memberikan subsidi GEF (Global Environment Facility) dinilai Budi semakin mematikan usahanya lantaran pasar kompos menjadi tidak riil dan produk pun bertumpuk. Kendala selanjutnya adalah anggapan masyarakat bahwa sampah itu menjijikan dan bau, sehingga mereka enggan terlibat dalam pengolahan sampah meski nilai komersialnya cukup meyakinkan. Pemerintah daerah pun belum juga mengulurkan bantuan sehingga dana yang diperlukan saat pengembangan menjadi harapan semu. Meski banyak diterpa kendala, langkah Budi masih terlihat tegap dengan semangat NATO. Teknologi VAP BL Saat Tim Redaksi mengunjungi salah satu lokasi vermi komposting di Cimahi Utara, Kota Cimahi, Jawa Barat, kami mendapatkan kesan bahwa tempat pengomposan dengan menggunakan cacing ini jauh dari kesan kumuh dan menjijikkan. Sehingga meski lokasinya di tengah kota namun tak terlalu mengganggu masyarakat. Ada lima lokasi pengolahan sampah organik di Bandung, termasuk di Cimahi. Bahkan dulu menurut Budi sempat dikembangkan di 10 kota/kabupaten di Sumatera, Kalimantan dan Jawa namun semuanya terhenti karena alasan enterpreneurship yangi kurang tangguh. Teknologi normal untuk metode, pengomposan diperlukan waktu 30 45 hari untuk menghasilkan kompos. Untuk teknologi VAPBL" pada prinsipnya cacing tanah makan sampah organik sehari semalam seberat tubuhnya sedangkan kotoran yang dikeluarkan sekitar 40% 60% dari pakan yang dimakan cacing tanah tetapi ada bahan bahan yang susah untuk didegradasikan oleh cacing tahah sehingga untuk menghasilkan produk yang siap untuk dipasarkan sekitar 15 - 30 hari, Untuk lokasi pengolahan sampah organik yang menggunakan teknologi VAPBL satu harinya dapat menghasilkan 2 3 ton vermics/ kotoran cacing tanah sedangkan untuk pengomposan menghasilkan 5 10 Ton kompos. Dengan proses percepatan, kami sanggup memproduksi kompos 200 ton dalam waktu I bulan. Contohnya seperti yang baru beberapa waktu lalu mendapat order dari Pemerintah Kota Serang, Banten dengan memesan 200 ton kompos. Berharap pada pemerintah Pemasaran masih menjadi tantangan Budi dan kawan-kawan agar produknya dapat direspon masyarakat dan pada gilirannya bisa meningkatkan produktivitasnya. Di sisi lain, Budi masih berharap besar kepada pemerintah agar membuat kebijakan seperti, pertama, standarisasi produk yang diakui internasional. Kedua, penetapan lembaga yang diakui dalam hal sertifikasi. Ketiga, pembinaan kepada pemda (baik institusi maupun oknum) yang menjual sampah kepada pelaku pereduksi sampah. Keempat, insentif penggunaan limbah dalam bentuk fasilitasi. Pemerintah juga diharapkan membantu kelompok masyarakat pengolah sampah agar termotivasi. Bantuan tersebut menurut Budi misalnya jangan ada lagi subsidi produksi kompos, karena hanya akan menimbulkan oportunist dan proyek sesaat. Jika subsidi kompos tak dihentikan maka produsen juga berhenti dan memporak poranda market yang baru tumbuh. Pemerintah juga diharap membantu memberi insentif pada pelaku reduksi sampah, misalnya mengurangi beban biaya perijinan, bantu dengan biaya bunga murah, pembuatan demplot. (Redaksi) Post Date : 01 Agustus 2007 |