|
PROBLEM sampah sebenarnya bukan hanya muncul kali ini saja. Sejak tahun 1990-an, protes warga soal cara pembuangan sampah yang dikelola Dinas Kebersihan DKI sudah bermunculan di Tempat Pemusnahan Akhir Sampah Bantar Gebang. Berulang kali pula warga mengancam akan menutup TPA Bantar Gebang karena mencemari lingkungan sekitarnya. Namun, protes hanya sebatas protes. Melalui pendekatan uang, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI selalu bisa memuluskan kembali jalan menuju TPA Bantar Gebang. Dengan berbagai kompensasi yang ditawarkan, akhirnya TPA Bantar Gebang dibuka kembali. Ibarat luka yang sembuh hanya bagian permukaannya saja, sementara borok masih terus ditutup-tutupi. Tanpa melibatkan teknologi dalam pengelolaan sampah, ribut-ribut soal sampah dipastikan bakal muncul setiap saat. Warga yang tinggal di sekitar tempat penumpukan sampah, seperti TPA Bantar Gebang dan TPS Cilincing, sebenarnya sudah muak dengan sistem pengelolaan sampah yang dilakukan Dinas Kebersihan DKI. Karena tidak mampu berbuat apa-apa, warga akhirnya mengandalkan kekerasan untuk menolak pembuangan sampah di lingkungan mereka. Sebenarnya sudah banyak investor yang menawarkan diri untuk mengelola sampah milik warga Jakarta. Tetapi, tawaran itu tidak pernah terealisasi. Meski sudah banyak tawaran, Pemprov DKI sepertinya belum memiliki komitmen yang kuat untuk mengelola sampahnya. Padahal, produksi sampah warga Jakarta mencapai 6.500 ton per hari. Tanpa alasan yang jelas, Pemprov DKI memilih menumpuk begitu saja ribuan ton sampahnya. Dalam satu bulan, terhitung 195.000 ton sampah yang menumpuk. Dampak lingkungan yang muncul akibat ratusan ribu ton sampah itu tentu saja tidak main-main. MENURUT sumber Kompas, sudah ada 25 proposal yang masuk untuk mengelola sampah DKI. Bukan hanya investor beneran yang mengajukan diri, tetapi banyak juga investor gadungan yang mengajukan diri. Tetapi, semua tidak ada lagi kabarnya. Sumber itu mengatakan, investor gadungan sebenarnya tidak memiliki dana untuk mengelola sampah. Mereka sebenarnya hanya ingin berebut dana yang dialokasikan Pemprov DKI untuk mengelola sampah di Bantar Gebang. Sementara investor "beneran" pun selalu gagal mengelola sampah di DKI. Menurut pengakuan beberapa investor yang keberatan disebutkan namanya, mereka akhirnya enggan mengelola sampah karena belum apa-apa sudah ada pejabat yang meminta pembagian hasil. "Kami keberatan karena porsi yang diinginkan terlalu besar. Seharusnya Pemprov DKI sudah untung dengan menarik pajak dari kami," ujarnya. Ada beberapa teknologi yang ditawarkan kepada Pemprov DKI untuk mengelola sampah warga Jakarta. Di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, PT Wiraguna Sejahtera dan PT Wira Gulfindo Sarana memilih sistem pengolahan sampah dengan bala press. Sampah-sampah yang datang ke TPST Bojong masuk ke pabrik kemudian di pres dengan kekuatan tinggi dan dibungkus dengan plastik film. Sementara Pemerintah Kota Bekasi tengah menjajaki pengolahan sampah menjadi pupuk organik. Teknologi itu ditawarkan PT Indonusa Asri Aliansi yang dipimpin Pejabat Rektor Universitas Trisakti, Prof Dr Azril Azahari. Sampah yang masuk akan diproses menjadi pupuk organik berbentuk pupuk padat dan pupuk cair. Kapasitas pengolahan satu pabrik sebesar 220 ton sampah per hari. Investasi yang diperlukan untuk membangun satu pabrik, kata Azahari, sebesar Rp 95 miliar. Dana yang digunakan untuk investasi murni milik swasta. Sampah organik yang dihasilkan juga sudah langsung dibeli Genica Inc, badan koperasi nirlaba yang dibentuk International Bio Recovery (IBR) Kanada, pemilik paten teknologi pengolahan sampah menjadi pupuk organik. Masuknya swasta yang ingin mengelola sampah seharusnya membuat Pemprov DKI senang. Tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun, sampah milik warga DKI sudah ada yang menangani. Tetapi kenyataannya terbalik, sebagian besar investor justru kabur karena belum beroperasi pun para investor sudah dimintai "setoran". (IND) Post Date : 02 Februari 2004 |