|
Kota Rio de Janeiro, Brasil, punya City of God. Sementara DKI Jakarta punya Kelurahan Pademangan Barat, Jakarta Utara. Keduanya adalah kawasan luar biasa kumuh (extreme slum area). City of God diangkat sutradara Amerika Latin, Fernando Meirelles, ke layar lebar (City of God) tahun lalu. Sementara Kelurahan Pademangan Barat tetap menjadi 'situs menarik' untuk menengok wajah absurd sanitasi air di ibu kota negeri ini. Terletak kurang setengah kilometer dari Pantai Ancol, Pademangan Barat adalah kawasan kumuh terpadat nomor dua di Indonesia. Ribuan manusia berjejal di gang-gang sempit. Sebagian rumah berdindingkan kayu rompal. Bau tengik meruap dari saluran got yang pekat. Tapi itu bukan nestapa terbesar warga Pademangan. Adalah kelangkaan air bersih yang membuat kelurahan kumuh ini bagai tubuh kurus kering. Air bersih, sejatinya, sudah jadi rebutan di Pademangan Barat selama belasan tahun, tanpa ada jalan keluar. Simak keseharian Ian Winatasasmita. Laki-laki gempal yang sudah 45 tahun tinggal di Pademangan ini, hampir tiap malam menyambi jadi 'satpam air'. Tugasnya menunggui air mengucur. ''Maklum, di sini air kran baru menggelontor jam 12 malam. Itu pun cuma tiga jam,'' tutur tokoh Kelurahan Pademangan ini, nyinyir. Pipa-pipa PAM memang belum lama menjangkau kelurahan naas itu. Namun semenjak kawasan pertokoan, hotel, dan hiburan, berdiri kokoh di sekeliling Pademangan Barat, rebutan air jadi makin seru. Pusat-pusat komersial ini dengan lahap merampas aliran air segar menuju kawasan kumuh itu. Ian termasuk beruntung. Sebagian besar warga Pademangan Barat sama sekali belum dijalari pipa PAM. Untuk keperluan sehari-hari, mereka terpaksa membeli air gerobak seharga Rp 500 hingga Rp 1.000 per liternya. Air dibeli dari para juragan hidran, sebutan pengusaha air bersih di situ. Air gerobak dipakai untuk minum dan masak. Sementara untuk mandi dan cuci piring, mereka memilih air sumur. Di RT 15/RW 12, sebuah sumur kecil tampak ramai disambangi warga. Letaknya di tanah lapang yang kini disulap jadi lapangan bulu tangkis. Mulut sumur berbentuk persegi. Ukurannya sekitar 75 x 60 centimeter. Kabarnya, mulut sumur ini dulunya berbentuk silinder. Yang menarik sebetulnya bukan soal mulut sumur. Tapi warna air sumur yang pekat. Kekusamannya nyaris sama dengan air got yang kebetulan letaknya bersebelahan. Bayangkan, jarak antara sumur dan air got pun cuma tiga kepal tangan. ''Apa mungkin air got merembes ke sumur?'' tanya seorang wartawan kepada warga. Mereka geleng kepala. ''Yang jelas kami sudah menggunakannya belasan tahun,'' kata Kus Poniman, warga RW 12. Alasan Poniman, tidak ada aliran pipa PAM. Kalaupun dibangun, kata dia, tentu akan sulit karena kawasan ini sudah telanjur padat. Sumur ini melayani sekitar 200 warga di tiga RT per harinya. Seorang ibu lalu lalu mempraktikkan cara mereka memanfaatkan air sumur itu. Dikumpulkan di ember, air warna hitam itu lalu diguyur ke badan piring dan gelas, kemudian dibasuh. ''Airnya memang agak bau, sih,'' tutur seorang ibu. Sebagian wartawan geleng kepala. Situasi di Pademangan, menurut Junani Kartawiria, peneliti di Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta, merupakan salah satu potret buruknya penyediaan air bersih di kota-kota di Indonesia. ''Di Jakarta saja, lebih dari 70 persen sumber mata air tanah tidak layak pakai,'' tutur dia, Senin (23/1), di sela-sela field workshop yang digelar Yayasan Bina Pembangunan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002 memperlihatkan sekitar 60 persen rumah tangga di Indonesia memiliki sumber air minum (pompa, sumur, dan mata air) hanya berjarak kurang dari 10 meter dari tempat penampungan kotoran (septic tank). ''Kebanyakan sudah tercemar bakteri Escherica coli,'' jelas Junani. /Situasi gawat darurat ini disebabkan belum meratanya jalur pipa Perusaahan Air Minum (PAM) ke seluruh pelosok. Akhirnya masyarakat pun menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan air. Secara tradisional, mereka memanfaatkan air sungai. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2002 menunjukkan sebagian besar dari sekitar 51 ribu desa atau kelurahan yang dilalui sungai memanfaatkan aliran air gunung itu. Namun aliran air sungai ini bukanlah air kiriman surga yang setiap saat dapat direguk. Air ini seringkali sudah bercampur dengan limbah yang memboyong jutaan bakteri. Pemantauan kualitas air sungai KLH di 30 provinsi pada 2004 menunjukkan lebih dari 50 persen sungai yang diteliti tidak memenuhi kriteria mutu air kelas I. Parameter yang diukur antara lain, DO, BOD, COD, fecal coli, dan total coliform. Adapun air kelas I adalah air yang dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan sejenis. Penelitian sebelumnya (2000) di 20 sungai di Jawa Barat menunjukkan angka BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen demand) fecal coli/, dan coliform-nya melampaui ambang batas. Begitu pula pencemaran logam berat, seperti Fe, Mn, NO2, NO3, PO4, NH3. Air ini tak layak dikonsumsi. Di tengah minimnya sumber-sumber air bersih, kebutuhan mineral putih ini terus meningkat. Jika pada 1990 kebutuhan air domestik 3,169 juta meter kubik, pada 2000 volumenya membengkak menjadi 6,114 juta meter kubik. Pada 2015, diperkirakan 8,903 juta meter kubik. ''Ini persoalan kompleks yang memerlukan penanganan lintas sektoral.'' kata Junani. Tanpa Septic Tank di Petojo Selatan ''Hampir setiap musim hujan, belasan warga kami terserang diare dan muntaber, Pak,'' tutur Irawadi, Senin sore (23/1), lalu. Laki-laki usia 50 tahunan ini adalah tokoh RW 12 Kelurahan Petojo Selatan. Ia paham betul seluk-beluk nestapa di kawasan terkumuh di Jakarta Pusat itu. Bagi warga RW 12, cerita Irawadi, guyuran air dari langit bukan semata sirene untuk segera menyelamatkan jemuran pakaian. Tapi juga isyarat untuk menyaksikan pemandangan mengerikan: luapan tinja yang berserakan di pekarangan rumah. Pada musim hujan, saat timbunan najis membludak di jalanan, korban-korban diare pun mulai berjatuhan. Inilah salah satu wajah absurd ibu kota negeri ini. Berlokasi hanya setengah kilometer dari megapertokoan Tanah Abang, dan gedung-gedung pencakar langit Jl Sudirman, selama puluhan tahun warga RW 12 Kelurahan Petojo Selatan hidup tanpa septic tank. Yang mengenaskan, lalu lintas tinja di Kelurahan Petojo Selatan akhir-akhir ini macet. Pemicunya adalah ambruknya saluran gorong-gorong yang terhubung ke Kali Cideng. ''Ini sudah terjadi dua tahun terakhir. Namun tak ada tindakan apa pun,'' kata Irawadi, yang juga ketua Dewan Kelurahan Petojo Selatan itu. Insiden ini kabarnya dipicu pembangunan fly over menuju pertokoan Tanah Abang yang menohok pipa gorong-gorong dari atas. Saluran gorong-gorong memang tidak ambruk total, cuma tergencet parah. Namun produksi tinja tak pernah susut, bahkan terus meningkat. Lalu lintas tinja pun tertahan tepat di got gerbang masuk Jl Kebon Jahe. Bagai bumerang, tinja-tinja ini balik menyerang warga. Berdasarkan data Susenas 2002, sekitar 60 persen rumah tangga tidak menampung tinja-nya ke dalam tangki septik. Tinja langsung dibuang ke perairan umum atau ke tanah. Jumlah tinja yang digelontorkan sekitar 232 juta meter kubik per hari. Sebanyak 139 juta meter kubik di antaranya mencemari sungai dan tanah saban harinya. Anehnya, lanjut Irawadi, di Petojo Selatan, warga lebih suka merenovasi rumahnya ketimbang membangun septic tank. ''Selain itu memang enggak ada lahannya. Di sini sudah amat sempit,'' kata dia menuturkan alasan warga. Menurut Hasbi Aziz, dari Litbang Walhi Jakarta, tren pembangunan septic tank di wilayah padat penduduk adalah melalui septic tank komunal untuk beberapa rumah sekaligus. Hanya, katanya, pada masyarakat tertentu kondisi hidup kotor malah sudah menjadi tradisi. Untuk kasus ini, menurut Hasbi, perlu keterlibatan pemerintah yang dominan. ( imy ) Post Date : 27 Januari 2006 |