|
Bumi bergejolak tak menentu. Bencana datang silih berganti tanpa satu kepastian apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Bila Anda harus berpikir dari akhir, kira-kira apa yang terbayang tentang kondisi Bumi, termasuk penghuninya, pada periode 100 tahun mendatang? Ini bukan tentang penilaian orang, baik kerabat, teman, atau siapa pun, tentang diri Anda, seperti ditulis Stephen R Covey dalam The 7 Habbits of Highly Effective People, tetapi masa depan Bumi berpenghuni miliaran orang, dari Kutub Selatan hingga Kutub Utara, dari ujung barat hingga ujung timur (yang kembali ke ujung barat lagi). Laporan pertama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan, pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia (antropogenik). Abad ini, peningkatan suhu global diperkirakan naik 1,4-5,8 derajat Celsius. Saat ini saja, dengan suhu Bumi yang naik sekitar 0,6 derajat Celsius sejak revolusi industri, berbagai spesies flora dan fauna musnah sebelum sempat dipelajari. Fenomena cuaca dan iklim yang tak menentu disinyalir akibat pemanasan global. Kejadian puting beliung meluas hingga kawasan yang dulunya tak pernah terjadi. Yang satu ini belum terbukti secara ilmiah apakah akibat faktor pemanasan global. ”Hujan dan panas tak menentu sekarang ini mengherankan. Menyeramkan buat saya,” kata Henny (33), ibu seorang anak usia delapan tahun, Aditya. Bersama suaminya, Arie (35), ia mengunjungi Green Festival di Parkir Timur Senayan, Jakarta Pusat, yang berakhir Minggu (20/4) kemarin. Sejumlah informasi seputar pemanasan global dikemas santai dan menghibur. Henny antusias mendokumentasikan informasi seputar apa dan bagaimana mencegah dan beradaptasi dengan pemanasan global. Antusiasmenya dipicu keingintahuan, bagaimana masa depan anaknya di Bumi yang serba tak menentu. Hal senada diungkapkan Zulfa (33), ibu dua anak, Faqih (8) dan Nabila (5). Baginya, sangat perlu mengetahui kondisi lingkungan lokal dan global, yang dinilainya makin aneh. Bukan hanya memperkaya wawasan, tetapi juga memahami apa yang dapat dilakukan keluarga. Karena itu, ia khususkan waktu bersama suami ke Green Festival. Dua hari pertama festival, sejumlah rombongan siswa sekolah datang dari Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Mereka mencatat, memotret, dan merekam informasi yang disajikan atraktif. ”Anak-anak pun harus mengenal sejak dini karena sangat penting,” kata Lisa, pendamping rombongan puluhan siswa SD dari Serang, Banten. Bahkan ada rombongan bus dari Surabaya, Malang, dan Kediri mendatangi acara yang disponsori antara lain oleh Panasonic dan Riau Andalan Pulp and Paper ini. Mereka menekuni data-data yang merupakan kontribusi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Yayasan Pelangi, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cifor, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta dan IPB, Dana Mitra Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Swisscontact Indonesia, dan Kompas. Selain itu, mereka yang juga memberikan kontribusi adalah Martha Tilaar, RDA Nusantara, Dinas Pertamanan dan Ikatan Alumni Pelatihan Pertamanan, Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Gerakan Hidup Bersih, dan Inswa. Generasi pewaris Ini adalah cara melihat masa depan. Bumi, dengan segala permasalahan yang ditimbulkan penghuninya, diprediksi mewariskan permasalahan besar. Sejumlah prediksi tentang Indonesia di antaranya kenaikan permukaan air laut yang akan menggenangi daratan sejauh 50 meter dari garis pantai kepulauan Indonesia sepanjang 81.000 kilometer. Lebih dari 405.000 hektar daratan Indonesia akan tenggelam. Artinya, ribuan pulau kecil terancam terhapus dari peta. Belum lagi kerentanan ratusan ribu hektar tambak dan sawah di daerah pasang surut. Abrasi pantai dan intrusi air laut kian parah. Sumber-sumber air bersih tercemar (Kompas, 13/12/2006). Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, misalnya, mata air di sejumlah lokasi tak lagi mengalir seperti dua tahun lalu. Di Bali, gelombang tinggi menerjang pesisir. Fenomena yang tak pernah terjadi sebelumnya. Meski secara ilmiah terbukti bahwa pohon berfungsi menyeimbangkan suhu Bumi dan menyimpan karbon, nafsu mengonversi hutan alam terus dilayani mengatasnamakan investasi atau melayani pasar yang atraktif. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperlambat pemanasan global, mulai dari hal-hal sepele. Misalnya, karena tisu berbahan dasar kayu, gantilah dengan lap kain. Mulailah menanam dan memelihara pohon di halaman rumah. Bongkar lahan yang telanjur dicor namun tak fungsional. Di Green Festival, ratusan anak di bawah usia 10 tahun diajarkan bagaimana menanam pohon di dalam pot. Puluhan murid kelas I dan II Sekolah Alam, Cikeas, dimobilisasi menjadi ”polisi kebersihan”—berkeliaran memunguti sampah yang berserakan di lokasi. Melalui dongeng, anak-anak diperkenalkan pada pemilahan sampah. Mungkin, anak-anak itu belum paham arti pemanasan global dan dampaknya. Prediksi ilmuwan (IPCC), bila cara hidup dunia tak berubah, lelehan kubah es di kutub akan menaikkan permukaan laut sekitar 1 meter. Suhu Bumi diperkirakan meningkat hingga 5,8 derajat Celsius dari tahun 1990. Sekitar 80 persen spesies flora dan fauna punah di alam. Kekeringan dan banjir akan terjadi lebih hebat. Seratus tahun mendatang, bergantung pada keputusan kita sekarang; hari ini! Untuk generasi pewaris Bumi. (GSA/isw) Post Date : 21 April 2008 |