Bumi dan Kearifan Kita

Sumber:Media Indonesia - 23 April 2010
Kategori:Lingkungan

SAAT ini planet bumi yang kita tempati ini bukan lagi merupakan sumber daya yang tak terbatas. Lonceng peringatan telah digemakan dengan keras, betapa perdamaian dunia tengah terancam, bukan karena perang atau terorisme. Lebih dari itu, fenomena pemanasan global (global warming) yang memicu perubahan iklim, menjadi ancaman utama terhadap kelangsungan hidup di bumi.

Diakui atau tidak, maraknya bencana ekologi yang terjadi beberapa tahun terakhir di seluruh belahan bumi, termasuk di Indonesia, adalah karena ulah manusia yang semena-mena mengelola lingkungan. Kapasitas dan daya dukung lingkungan berada pada titik nadir menuju kehancuran.

Merujuk definisi Vandana Shiva, pembangunan merupakan proses eksploitasi sumber daya alam yang mengukuhkan dominasi, penyeragaman, dan sentralisasi. Celakanya, praktik salah urus pembangunan (malapembangunan) telah berlangsung selama bertahun-tahun. Atas nama pembangunan ekonomi, atas nama perang terhadap kemiskinan, atas nama kecukupan pangan, sandang, dan papan, semua orang menjadi sangat permisif terhadap tindak perusakan lingkungan.

Dalam kondisi itu, peristiwa bencana ekologi seperti banjir bandang, tanah longsor, serta kekeringan yang datang silih berganti, akan selalu menjadi persoalan dari generasi kegenerasi. Tanpa antisipasi dari seluruh komponen masyarakat, maka bencana ekologi tersebut boleh jadi merupakan fenomena puncak gunung es yang akan menyembul ke permukaan dengan intensitas yang lebih dahsyat lagi. Tulisan ini kiranya menjadi bahan refleksi bagi kita tentang arti penting menjaga bumi dengan penuh kearifan dalam memperingati Hari Bumi ke-40 yang jatuh pada tanggal 22 April 2010 ini.

Aksi Kolektif

Beberapa waktu lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mempublikasikan laporan berjudul "Bersama Memerangi Dampak Perubahan Iklim dalam Sebuah Dunia yang Terpenggal". Laporan ilmiah tersebut memberikan kemungkinan 90% (very likely) bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab utama perubahan iklim. Oleh karena itu PBB menyerukan kepada dunia bahwa tanpa aksi kolektif dan adil secara global, tak satu pun negara di dunia yang akan menang dalam perang melawan pemanasan global dan perubahan iklim.

Perubahan iklim ini dipicu oleh meningkatnya konsentrasi gas karbondioksida karena penggunaan bahan bakar fosil serta alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomis. Selain itu juga disebabkan aktivitas pertanian yang meningkatkan konsentrasi gas metana dan dinitrogen oksida. Perubahan iklim akan memengaruhi curah hujan, suhu udara, serta ketersediaan air bagi tanaman di kawasan yang rawan (vulnerable area). Produksi pangan dunia akan terancam.

Disamping mengancam ketahanan pangan, berbagai literatur menyebutkan bahwa pemanasan global juga akan mengancam peradaban dunia. Permukaan air laut yang naik akan mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil, mundurnya garis pantai lebih dari 60 cm sehingga banyak nelayan yang akan kehilangan tempat tinggal, instrusi air laut makin meluas, rusaknya ekosistem hutan bakau. Peningkatan suhu yang ekstrem akan memicu terjadinya kebakaran hutan hebat. Perubahan iklim juga akan meningkatkan intensitas penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah.

Miris

Saatnya secara arif dan bijaksana kita merubah paradigma antroposentrisme yang selama ini telah merasuk dalam pola hidup masyarakat. Paradigma ini memandang bahwa tumbuh-tumbuhan dan tanaman di bumi ini disediakan untuk binatang, dan binatang disediakan untuk manusia saatnya dicerahkan. Cara pandang seperti ini telah menempatkan alam sebagai sumber eksploitasi, manusia berlomba-lomba untuk menaklukkan dan mendominasi alam.

Akibatnya, kita menyaksikan dahsyatnya degradasi lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas sosial ekonomi masyarakat. Miris hati kita saat membaca data laju deforestasi di republik ini yang besarnya ekuivalen dengan luas enam kali luas lapangan sepak bola per menit ! Deforestasi yang berlangsung masif tersebut telah mengakibatkan lebih dari 59,3 juta hektar hutan kita rusak berat.

Fritjof Capra (2001), telah secara arif mengingatkan kita tentang bagaimana seharusnya kita mengelola lingkungan yang kita tempati ini. Dengan konsep ekologi-dalam (deep ecology), Fritjof Capra menegaskan bahwa dunia ini bukanlah kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan jaringan yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lainnya secara fundamental. Pembangunan dilaksanakan tanpa ada yang dirugikan, baik manusia maupun alam.  Pembangunan untuk kesejahteraan manusia dijalankan secara berkelanjutan tanpa harus merusak alam.

Pemanasan global yang memicu perubahan iklim dapat dicegah jika tindakan ramah lingkungan menjadi pola hidup kita sehari-hari. Dimulai dari hal yang paling sederhana sekalipun, misalnya saat berpergian selalu menggunakan transportasi umum, menggunakan kendaraan yang berbahan bakar gas atau biofuel, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor untuk bepergian jarak dekat.

Selanjutnya, untuk kehidupan di dalam rumah atau di kantor, mematikan listrik jika tidak digunakan, mengganti bohlam lampu dengan lampu "fluorescent", tidak membiarkan pintu kulkas terbuka terlalu lama, mengganti "chiller" dengan "refrigerant" non-CFC yang menghemat energi sampai 25%, mematikan monitor komputer bila akan rapat atau makan siang. Bangunan rumah/kantor sebaiknya didesain dengan sirkulasi udara yang baik, menggunakan pagar dari tanaman hidup di sekeliling rumah, menanam pohon sebanyak-banyaknya. Saat berbelanja sedapat mungkin menghindari tas belanja dari plastik, melakukan daur ulang sampah, kertas, dan kaleng bekas, serta membiasakan untuk tidak membakar sampah di pekarangan rumah. Hingga pada kegiatan yang lebih besar lagi, misalnya pembukaan lahan untuk perkebunan/pertanian tanpa pembakaran.

Pendek kata, hanya dengan kearifan dan upaya komprehensif dan berkelanjutan kita dapat terhindar dari berbagai bencana ekologi. Bagaimanapun, tindak perusakan lingkungan demi kepentingan ekonomi sesaat, merupakan tindakan bunuh diri secara ekologis. Saatnya kini manusia berziarah kepada hati nurani dan akal sehat untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Toto Subandriyo (Peneliti pada Lembaga Nalar Terapan)



Post Date : 23 April 2010