Rangkaian bencana ekologis yang terjadi belakangan ini menandai semakin ringkihnya bumi menopang kehidupan manusia. Laju pertumbuhan penduduk yang meninggi dan pada saat yang sama menurunnya daya dukung lingkungan melahirkan kompleksitas ekologis. Bobolnya tanggul Situ Gintung yang baru saja terjadi menunjukkan bahwa kapasitas sistem penyangga kehidupan manusia akan rapuh tanpa perawatan yang baik.
Situs tangkapan air yang bertebaran, yang memberikan jaminan ketersediaan pasokan air dan juga mencegah banjir, harus dikelola. Perkembangan permukiman tanpa perencanaan dan ketiadaan orientasi ekologis tidak hanya mengancam fondasi lingkungan, tetapi juga membahayakan kita yang mendiami habitat tersebut.
Tatanan alam sering kali hanya dipandang sebagai sebuah siklus biologi yang akan memperbaiki dirinya sendiri. Namun, fakta menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia, termasuk yang tergolong dapat diperbarui, tak mampu diimbangi oleh bumi mereproduksi diri. Manusia pun cenderung tak memerhatikan dampak yang sifatnya jangka panjang dan tak berefek langsung. Kita pun jadi lalai dan tak peduli. Sebut saja kasus pencemaran Teluk Buyat. Akumulasi logam berat di teluk tersebut bukanlah terjadi dalam satuan hari, tetapi bertahun-tahun. Ketika dampak mengemuka, barulah disadari bahaya yang mengintai.
Karena itu, jika bencana ekologis membayangi, terutama akibat ulah manusia, ia bukanlah hasil proses jangka pendek. Penggundulan hutan menahun, misalnya, berujung pada kerusakan sistem daerah aliran sungai. Akhirnya, banjir terjadi berulang-ulang. Inilah hasil dari kelalaian bercampur ketidakpedulian yang tak berbuah kebaikan bagi kehidupan spesies manusia. Penyakit terbesar manusia
Mengapa kita tak peduli? Meminjam istilah Garret Hardin (1968), inilah yang disebut the tragedy of commons, kegagalan memelihara milik bersama. Joseph Stiglitz (2006) mengatakan, "jika ada sumber daya bersama yang dapat digunakan secara gratis, para pengguna biasanya gagal berpikir apakah tindakannya mungkin membahayakan yang lain; setiap orang sering kali kehilangan rasa akan kebaikan bersama." Inilah sesungguhnya penyakit terbesar manusia.
Kegagalan mengapresiasi sumber daya bersama juga akan melahirkan eksternalitas negatif. Ekses-ekses buruk dapat disebabkan oleh perilaku pihak luar dan tanpa disadari berpengaruh terhadap kehidupan komunitas lain. Ketidakmampuan Indonesia mencegah kebakaran hutan, misalnya, tak hanya berimbas negatif kepada rakyat negara ini, tetapi lebih jauh penduduk Singapura yang tak berkaitan langsung dengannya.
Karena itu, ahli ekonomi menawarkan privatisasi untuk mencegah the tragedy of commons ini. Privatisasi dimunculkan sebagai alternatif untuk memperjelas pemilik yang berhitung untung rugi sehingga lebih bertanggung jawab. Namun, keuntungan privatisasi tak diraih dalam pengelolaan sumber daya lingkungan. Jika menengok privatisasi sumber daya hutan alam di negara ini, hanya terlihat catatan buruk. Privatisasi hutan alam dalam bentuk pemberian hak pengusahaan hutan tak bersimbiosis dengan peningkatan motivasi melestarikan hutan. Prestasi yang tertoreh tak lebih dari catatan panjang deforestasi.
Di sinilah letak peran negara sebagai pihak kunci manajemen sumber daya alam. Apalagi dalam konteks Indonesia, sesuai dengan amanat UUD 1945, sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Manajemen yang baik akan meminimalisasi kerusakan common goods akibat ulah tak bertanggung jawab, sekaligus mengurangi akibat negatif untuk pihak lain. Karena itu, ujar Joseph Stiglitz (2006), kontrol sosial dan legal menjadi penting.
Generasi Hijau
Menandai peringatan Hari Bumi 22 April tahun ini diluncurkan kampanye global Generasi Hijau. Inisiatif ini didasari pada kesadaran pentingnya masyarakat dalam melestarikan bumi. Pemerintah saja tak cukup. Rangkaian efek dari kerusakan lingkungan yang telah kita rasakan hendaknya membangkitkan kesadaran sosial untuk berbuat. Kitalah pemilik bumi ini. Konsekuensinya, kita pulalah yang harus bertanggung jawab melestarikannya.
Inisiatif Generasi Hijau ingin mengajak orang-orang biasa untuk terlibat secara individual dan kolektif guna meningkatkan kualitas lingkungan sekitar mereka. Masyarakat pun diharapkan berkontribusi pada ide-ide solusi permasalahan lingkungan yang lebih makro. Apa pun kita: pelajar, petani, aktivis, ilmuwan, pemuka agama, profesional, guru, atau lainnya, kita dapat memberikan kontribusi pada penciptaan bumi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Kita telah terbiasa melakukan pembiaran dan tak peduli pada kepentingan umum. Padahal, kesadaran akan penyelamatan lingkungan tak hanya berlandaskan pada semangat altruistik saja. Lebih jauh ini adalah demi kepentingan kelanjutan kehidupan manusia itu sendiri. Kita dihadapkan pada kemungkinan ecological suicide akibat ketidakpedulian terhadap lingkungan. Hanya pembangunan kesadaran masif akan kepentingan kehidupan bersama pada masa depan yang akan menjamin keberlanjutan sistem bumi. YANSEN Dosen Ekologi Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu; Australian Leadership Award Scholar
Post Date : 22 April 2009
|