|
Kotoran tinja di kakus itu dapat diolah menjadi biogas, yang bisa dimanfaatkan warga untuk memasak. Memasuki kawasan Petojo Binatu RW 08, Jakarta Pusat, kesan kumuh langsung menyergap. Di gang selebar tiga meter itu berderet gerobak yang memuat barang bekas. Bau sampah yang menyengat pun menebar di sepanjang gang itu. Bagi orang yang tak terbiasa, tentu ia akan menutup hidungnya. Tapi warga di sana sudah terbiasa mencium bau tak sedap itu. Buktinya, beberapa ibu-ibu tampak bercengkerama di depan gerobak yang diparkir di depan permukiman padat penduduk itu. Namun, kesan kumuh langsung hilang manakala mata kita berserobok pandang dengan sebuah tempat mandi-cuci-kakus plus plus (MCK++) di ujung gang itu. Toilet umum berkeramik putih-ungu dan berpenampang peralatan modern itu tampak paling kinclong di kawasan tersebut. Beberapa warga tampak beraktivitas di sana. Ada yang sedang mencuci pakaian, ada pula yang tengah menunggu antrean ke kamar mandi. "Nggak lama kok antrenya, paling 10 menit," ujar Nini, 28 tahun, warga setempat. Menurut dia, antrean biasa terjadi pada pagi dan sore hari. Toilet yang mulai dioperasikan pada Agustus lalu itu membuat warga bungah. Betapa tidak, kata Nini, sebelum ada MCK++, kalau mau mandi, warga harus memompa air dulu. "Apalagi air yang keluar sering kotor dan tersendat," ujarnya. Berdiri di atas lahan seluas 8 x 8 meter persegi , MCK++ memiliki tiga kamar mandi untuk pria dan wanita, keduanya berukuran 1 x 1 meter persegi, serta kamar mandi yang lebih luas khusus buat ibu dan anak. Di samping kamar mandi itu terdapat tempat khusus mencuci seluas 2 x 2 meter persegi. Tempat cuci yang beratap itu memiliki tiga keran air yang siap diputar untuk menggelontorkan air bersih. Fasilitas lainnya, kakus itu dilengkapi dengan instalasi pengolahan air minum dan tempat cuci tangan. Air di kakus itu dipasok dari sumur yang diambil melalui pompa listrik. Selanjutnya air itu disimpan dalam wadah penampungan. Di dinding kakus umum itu ditempel pengumuman yang bertulisan "MCK++ ini menggunakan teknologi decentralized wastewater treatment system yang mengolah air tinja yang mengandung bakteri E. coli dan air cucian/mandi yang mengandung bahan kimia menjadi air ramah lingkungan". Selanjutnya air yang sudah diolah itu dibuang ke sungai di belakang MCK++. Kotoran tinja di kamar mandi itu diolah dengan teknologi biodigester, yang bisa dijadikan biogas dan dapat dimanfaatkan warga untuk memasak. "Saat ini baru posyandu yang memanfaatkannya," ujar Januar Sunaryo, penjaga MCK++. Ke depan, giliran rumah warga yang jaraknya sekitar 50 meter dari kakus itu. Menurut Januar, MCK++ digunakan oleh warga di empat rukun tetangga, yakni RT 02, RT 03, RT 13, dan RT 14, atau sekitar 150 orang. "Pengguna MCK++ tidak dipungut biaya," ujarnya. Tapi di sana disediakan kotak amal. MCK++ di Petojo Utara itu adalah yang pertama di Jakarta. Lembaga riset Mercy Corps bersama program-program yang didanai USAID Indonesia lainnya, yaitu Environmental Services Program (ESP), Aman Tirta, dan Health Services Program, membangun MCK++ itu pada 1 April hingga awal Agustus lalu. Koordinator Water Sanitation ESP Nur Endah Shosiani mengatakan keberadaan MCK++ diharapkan dapat membantu masalah keterbatasan akses fasilitas sanitasi yang kerap dialami warga di daerah miskin perkotaan. Petojo Utara dipilih, menurut Nur, berdasarkan kebutuhan utama masyarakat di wilayah itu. "Lebih dari 50 persen rumah warga di sini tak memiliki kakus," ujar Nur kepada Tempo. Nur menjelaskan teknologi decentralized wastewater treatment system merupakan produk Bina Ekonomi Sosial Terpadu, sebuah kontraktor lokal nonpemerintah yang sudah berpengalaman membangun proyek serupa di Tangerang. Pembangunan MCK++ menghabiskan dana Rp 360 juta, yang bersumber dari USAID. "Ditambah biaya swadaya masyarakat pada saat survei dan pembangunan proyek," ujarnya. Hingga kini, kata Nur, belum ada rencana membangun MCK++ di wilayah lain. Pembangunan akan dilaksanakan berdasarkan penilaian riset lembaganya ditambah masukan dari masyarakat. "Kami berharap inisiatif datang dari warga sendiri," ujarnya. Budi Saiful Haris Post Date : 11 Oktober 2007 |