|
Sudah dapat diduga, ketika tidak tersedia tempat pembuangan akhir sampah, Kota Bandung dihadapkan pada persoalan darurat, yaitu sampah tersebar di mana-mana, baik di pinggir jalan, sekitar permukiman, perkantoran, maupun sungai! Julukan Kota Bandung sebagai Kota Kembang, Parijs van Java, kota wisata belanja menjadi runtuh. Kota Bandung menjadi berbau, kotor, jauh dari estetika dan asri, bahkan menjadi sumber penyakit. Kok, bisa suatu kota yang besar dan ramai, ibu kota Provinsi Jawa Barat yang namanya dikenal hampir ke berbagai penjuru dunia, serta kota pendidikan tinggi yang bergengsi tidak bisa membuang sampah sampai lebih dari dua bulan? Ya, karena waktu itu Kota Bandung tidak memiliki tempat pembuangan akhir (TPA). TPA Leuwigajah yang biasa dipakai sebagai pembuangan sampah akhir longsor, sementara mencari TPA baru tidak begitu mudah karena memerlukan lokasi yang luas dan juga adanya resistensi dari warga sekitar. Manajemen sampah Masalah sampah di Kota Bandung mungkin bisa dilihat pada manajemennya. Selama ini yang ada dalam pikiran sebagian besar warga kota adalah bahwa sampah merupakan benda sisa atau yang sudah rusak atau yang dianggap sudah tidak terpakai. Karena itu, sampah perlu dibuang ke suatu tempat karena bisa mengganggu, apakah karena baunya, atau bisa menjadi sarang penyakit, atau mengganggu estetika permukiman. Memperlakukan sampah seperti itu, dengan sendirinya harus ada tempat pembuangannya. Budaya masyarakat soal manajemen sampah ini tugasnya kemudian "diambil alih" oleh pemerintah kota. Secara substansial pengambilalihan itu tidak ada perubahan, tetap dibuang. Yang berubah hanya cara "membuangnya", mungkin sedikit lebih "teratur", tidak lagi dibuang ke sungai. Misalnya, dari tempat-tempat yang menghasilkan sampah, sampah itu "dibuang" dengan cara ditumpuk terlebih dahulu di tempat pembuangan sementara (TPS). Baru dari TPS sampah diangkut truk khusus ke TPA. Bagaimanapun manajemen persampahan seperti itu riskan. Bagaimana kalau sudah tidak ada tempat untuk membuang sampah, baik untuk TPS maupun TPA? Kasus inilah yang beberapa waktu lalu dihadapi Kota Bandung, khususnya untuk TPA. Kota Jakarta beberapa tahun lalu juga pernah mengalami hal serupa, yakni ditolaknya TPA di daerah Bekasi dan Bogor oleh masyarakat sekitar. Pada waktu itu Kota Bandung dihadapkan pada persoalan tidak tersedianya TPA karena beberapa lokasi yang akan dipakai ditolak oleh masyarakat. Kok, berani-beraninya masyarakat menolak kebijakan pemerintah. Pertama, penolakan masyarakat di sekitar wilayah yang akan dipakai TPA disebabkan mereka melihat pengalaman dalam cara pengelolaan sampah yang selama ini dilakukan. Kejadian longsor sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, yang memakan korban puluhan orang telah menjadi pengalaman traumatis bagi masyarakat. Kedua, masyarakat menolak karena permukiman mereka yang dekat dengan daerah yang akan dipakai TPA dianggap akan menimbulkan bau. Ketiga, masyarakat menolak karena lahan pertanian yang letaknya dekat dengan daerah yang akan dipakai TPA dianggap akan tercemar polusi dari sampah sehingga diperkirakan akan merusak produktivitas tanah dan hasil produksi pertanian akan rusak. Keempat, masyarakat yang berada di sekitar daerah yang akan dipakai TPA menolak karena mereka menganggap nilai ekonomi tanah dan permukiman akan turun. Orang akan enggan bermukim dan berusaha di sekitar itu. Mungkin juga ditambah dengan pertimbangan kesehatan dan estetika. Resistensi masyarakat Bila manajemen persampahan tetap berorientasi bahwa sampah harus dibuang, ke depan persoalan mengenai perlunya lokasi yang luas untuk TPA dan kemungkinan penolakan masyarakat akan dihadapi lagi. Memang untuk sementara ini TPA Kota Bandung sudah tersedia di daerah Cipatat meski pengangkutannya masih tersendat-sendat. Akibatnya, secara sporadis masih terlihat adanya tumpukan sampah di beberapa pinggir jalan dan sekitar permukiman di Kota Bandung ini. Bahkan, satu bulan lalu TPA di Cipatat ini pernah longsor meski tidak menelan korban jiwa, tetapi beberapa hektar sawah tertimbun. Karena longsor itu, penduduk sekitar TPA melakukan resistensi dengan menutup jalan ke TPA tersebut dan Kota Bandung dihadapkan lagi pada kesulitan menentukan tempat untuk membuang sampah. Namun, dengan cepat Pemerintah Kota Bandung melakukan negosiasi dengan penduduk. Kesulitan tempat pembuangan sampah tidak memakan waktu lama, seperti ketika peristiwa longsor TPA Leuwigajah. Supaya persoalan yang sama tidak terulang lagi, yang krusial adalah mengubah manajemen persampahan. Budaya pengurusan sampah mesti diubah: bukan dibuang, tetapi dikelola. Sebagian warga masyarakat, bahkan para ilmuwan sudah lama mengetahui, dan di antaranya sudah ada yang mempraktikkannya, bahwa sampah memiliki banyak kegunaan, bisa didaur ulang dan diolah menjadi pupuk. Bahkan, sampah bisa untuk pembangkit listrik. Sekarang tinggal kemauan politik pemerintah untuk mengubah budaya manajemen persampahan ini yang mengarah ke pengelolaan, bukan pembuangan. Perubahan itu bukan pilihan, tetapi keharusan. Hanya, soal perubahan manajemen itu terlebih dahulu perlu dibicarakan dan dinegosiasikan dengan berbagai komponen masyarakat agar tidak ada warga masyarakat yang dirugikan lebih banyak dari yang lain. BUDI RAJAB Staf Pengajar Jurusan Antropologi FISIP Unpad Post Date : 12 Juni 2007 |