|
PROBOLINGGO - Jika anda bepergian ke Jepang, jangan membuang sampah sembarangan. Bisa-bisa, anda akan berurusan dengan pihak kepolisian. Karena, di Negeri Matahari Terbit itu, polisi berhak memberi sanksi hukum kepada mereka yang melanggar aturan lingkungan hidup. "Pemerintah bekerjasama dengan polisi. Jadi, jika ada yang melanggar aturan, dilaporkan terlebih dulu. Setelah itu, polisi akan mengecek ke lapangan. Kalau terbukti, maka akan dikenai sanksi," kata Tetsuro Fujitsuka, Director APN (Asia Pasific Network for Global Change Research) di Puri Manggala Bhakti Pemkot Probolinggo, kemarin. Tetsuro Fujitsuka hadir di Kota Probolinggo sebagai narasumber dalam seminar dan workshop bertema Community Based Management of Wasted yang digelar Pemkot bekerjasama dengan ICETT (International Center for Environmental Technology Transfer) Jepang. Dalam seminar tersebut, juga hadir dua narasumber lainnya. Yaitu, Director of Training Unit ICETT Yukinobu Yamada dan dosen ITS Surabaya DR Ir Nieke Karnaningroem. Tetsuro yang menyampaikan materi berjudul 'mengatasi sampah dan penggunaan untuk energi' mengatakan, di Jepang, prinsip mengatasi sampah atau mendaur ulang dilakukan dengan beberapa cara. Yakni, mengurangi sampah (reduce), menggunakan kembali (reuse), daur ulang (material recycle), mengambil panasnya (thermal recycle) dan mengatasi sesuai kebutuhannya. "Namun, semangatnya bagaimana mengurangi sampah sebelum mendaur ulang. Karena, di Jepang mencari TPA (tempat pemrosesan akhir) sangat sulit. Sehingga, sampah yang ke TPA benar-benar berkurang (makin sedikit)," jelas Tetsuko yang mengaku pernah tinggal di Indonesia ini. Yang lebih penting, lanjut Tetsuro, adalah partnership. Yakni, pemerintah daerah mengajak kerjasama dengan masyarakat setempat. "Kalau tidak bisa diajak kerja sama, maka akan sulit untuk mengurangi sampah dari rumah tangga," jelasnya. Dia kemudian mencontohkan di Kota Shibushi dan Kagoshima. Di dua kota tersebut, masing-masing RT mempunyai tempat pengumpulan sampah. Siapa yang mengangkut sampahnya? Tetsuro mengatakan, adalah warga yang ada di RT tersebut. Sampah itu sudah dipilah sesuai dengan peruntukannya. Misalnya, ada sampah basah, kering, dan botol plastik. Atau, sampah yang bisa dibakar dan tidak. Masing-masing sudah ada plastik pembungkusnya. "Kalau sudah dipilah, namanya bukan lagi sampah. Tapi sumberdaya, karena bisa bermanfaat," jelasnya. Sebelum diangkut ke tempat pengolahan, sampah-sampah itu kembali dicek oleh ibu-ibu rumah tangga. Mereka saling memberitahu, khawatir ada yang salah memasukkan. "Kalau membungkusnya salah, bisa-bisa sampahnya tidak diangkut. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Ya...RT-nya masing-masing," jelasnya. Untuk mengangkut sampah itu sendiri, kendaraan yang digunakan menggunakan biodiesel fuel yang dibuat dari minyak bekas. Karena itu, jika ingin membuat kompos, tidak lagi memilah sampah di TPA. Karena, sampah basah yang dibawa sudah dari rumah tangga tidak tercampur dengan sampah lainnya, misalnya plastik. "Tinggal dibawa ke tempat pembuatan kompos, sampahnya langsung bisa diolah," ulasnya. Bagaimana dengan botol plastik bekas tempat air minum? Tetsuro mengatakan, saat kunjungan ke pesantren yang mengolah sampah plastik, dia melihat masih kurang bersih. "Di Jepang, semuanya harus bersih. Makanya, mencucinya dilakukan berulang-ulang," tambahnya. Selain itu, botol tersebut dipilah sesuai dengan material mark-nya (tanda material). "Itu bisa dilihat di bagian bawah botol," katanya. Di situ, ada tujuh jenis material mark. Mulai nomor satu sampai tujuh. Masing-masing, mempunyai spesifikasi sendiri. Misalnya, yang nomor satu berkode PET (Polyethylene Terephtalate) dan nomor dua kodenya HDPE (High Density Polyethylene). "Itu tidak boleh dicampur," imbuhnya. Dari hasil daur ulang botol plastik tersebut, bisa digunakan sebagai serat bahan baku tekstil. Bahkan, di Jepang, hampir seluruh seragam staf pemda terbuat dari bahan daur ulang botol plastik. "Termasuk dasi saya ini," katanya sambil memegang dasi warna merah marun miliknya. Namun demikian, ia tidak merekomendasi menggunakan incinerator untuk mengolah sampah. Karena, selain biayanya mahal, juga dibutuhkan perlakuan khusus, misalnya harus mengontrol asap hasil pembakaran agar memenuhi persyaratan lingkungan. Misalnya, gas dioksin. "Sayangnya, alat untuk mengontrol dioksin ini, di Indonesia belum ada," terangnya. Termasuk abu sisa pembakaran. Menurut Tetsuko, itu tidak bisa dibuang begitu saja. Namun, harus diolah dan menjadi satu sistem dengan incinerator. "Nah, untuk mengambil abu-abu itu, menggunakan filter khusus. Ini harganya yang mahal," katanya. Soal mahalnya membuat incinerator, dia mencontohkan pembangunan pusat kebersihan Kota Kobe. Untuk membangun dibutuhkan dana sekitar 46,4 miliar yen. Waktu yang dibutuhkan sekitar lima tahun. Dari hasil pembakaran sampah itu, bisa menghasilkan energi listrik dan dimanfaatkan untuk kolam air hangat. "Saat bertemu warga di kota-kota besar, mereka minta dibuatkan incinerator. Pertanyaannya, punya uang atau tidak?" katanya disambut tawa peserta seminar. Karena itu, dia lebih merekomendasikan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengurangi sampah rumah tangga. Sehingga, tidak banyak sampah yang didaur ulang. (syt) Post Date : 19 Februari 2009 |