|
JAKARTA (Media): Masalah sampah di ibu kota, khususnya di DKI Jakarta, sudah masuk tahap kritis. Seumpama penyakit, kondisinya sudah stadium lanjut. Untuk mengatasinya ada lima aspek yang harus dilakukan, yaitu aspek hukum, kelembagaan, dana, peran serta masyarakat, dan aspek teknologi. Demikian dikatakan Bebassari, peneliti manajemen dan teknologi pengolahan sampah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kepada Media, Jumat (13/2) di Jakarta. ''Aspek teknologi merupakan bagian paling akhir. Yang terpenting adalah bagaimana mengubah budaya masyarakat untuk lebih baik dan peduli terhadap lingkungannya,'' kata Bebassari. Ditinjau dari aspek hukum, lanjutnya, di negara-negara maju telah dibentuk UU Pengelolaan Sampah. ''Komisi VIII sudah menyetujui adanya UU ini dan Kementerian Lingkungan Hidup yang diminta mempersiapkan draf akademisnya. Perangkat hukumnya harus dipersiapkan mulai tingkat nasional hingga tingkat RT.'' Sedangkan dari aspek kelembagaan, kata Bebassari, di negara-negara maju, seperti Singapura masalah sampah diatur oleh Menteri Lingkungan Hidup, sedangkan di Jepang ditangani oleh 15 menteri. ''Di Indonesia masih ditangani cuma oleh dinas kebersihan. Masalah sampah ini tidak hanya terkait bagaimana pembuangannya tetapi lebih kepada bagaimana mendidik masyarakat maupun komunikasi yang dibangun di masyarakat." Menurut Bebassari, pembangunan di Jakarta maupun di kota-kota lain di Indonesia lebih mengacu pada memperindah ruang tamu daripada memperindah pembuangan limbah. ''Seumpama rumah indah tapi tanpa WC.'' Lebih lanjut, Bebassari memberi contoh konsep green and clean-nya Singapura. Di sana konsep hijau dan bersih itu tercermin pada hotel, bandara, pembuangan limbah keluarga, seperti setiap rumah harus memiliki WC yang standar kebersihannya sama dengan WC di hotel-hotel. Demikian juga pembuangan dan pengolahan sampah harus memiliki standar yang sama. ''Di Indonesia berbeda antara bandara, pelabuhan, gedung tinggi. Ibarat ruang tamu yang mendapatkan fasilitas bagus. Tetapi pembuangan limbah, sampah, dan WC dibangun apa adanya.'' Bebassari juga mengeluhkan mengapa uang retribusi sampah rumah tangga yang dibayarkan setiap bulannya sangatlah kecil, lima ribu rupiah, sedangkan untuk membayar listrik sebesar seratus ribu rupiah. Menurutnya, harus ada keseimbangan di antara keduanya. Peran masyarakat Aspek lainnya adalah peran serta masyarakat yang merupakan produsen sampah. Mereka harus dilibatkan bertanggung jawab terhadap pengelolaan sampah. Setiap hari, jelas Bebassari, sampah rumah tangga yang dihasilkan tiap rumah sebanyak 2-3 liter. Untuk mengurangi limbah sampah, maka setiap rumah tangga ikut bertanggung jawab dalam pengurangan jumlah sampah yang dibuang. ''Untuk itu mulai sekarang biasakan hidup tidak komsumtif. Di kantor hematlah menggunakan kertas.'' Terakhir adalah aspek teknologi. Selama ini tempat pembuangan sampah akhir di TPA-TPA (tempat pembuangan akhir) masih belum memenuhi syarat. ''TPA harus mempunyai alat untuk memilah mana sampah organik dan nonorganik. Alat untuk mengolah limbah maupun untuk daur ulang. Sehingga diharapkan akan terjadi zero waste, karena sisa sampah sekitar 10-20% dimasukkan ke sanitary landfill.'' Bebassari mengatakan protes masyarakat terhadap keberadaan TPA Bantar Gebang ataupun rencana pembuatan TPA di Bojong Gede merupakan bentuk dari pembangunan kota yang tidak memikirkan konsep berwawasan lingkungan. Sejak Jakarta dibangun, katanya, pemerintah belum pernah memikirkan bagaimana soal pengolahan limbah dan sampah. ''Karena diumpamakan dengan penyakit, kondisi sekarang ini sudah stadium lanjut maka perlu obat yang mahal untuk menyembuhkannya,'' kata Bebassari. Tetapi pengobatannya dalam jangka pendek selama 1-5 tahun, lanjutnya Pemda DKI bisa membuang sampah ke TPA dan limbahnya diolah secara profesional. Pada jangka menengah 5-10 tahun, pengolahan limbah sampah dikelola pada tingkat kelurahan dengan metode reduce, reuse, dan recycle. Pola semacam itu sudah dilakukan tempat pembuangan sampah (TPS) di Kelurahan Rawasari Selatan selama dua tahun. TPS Rawasari Selatan menjadi pusat pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan sampah di tingkat kelurahan. Di sana tersedia pula alat pembuat kompos dan daur ulang. Dan dalam jangka panjang selama 30 tahun mengelola sumber sampah di rumah masing-masing. Bagaimana setiap rumah mengupayakan sendiri mengolah sampahnya menjadi pupuk tanaman, mengelola limbah sampah menjadi produk daur ulang, mengurangi sampah dengan membiasakan diri untuk makan selalu habis, menghilangkan kebiasaan konsumtif dan sebagainya. Saat ini program mengolah sampah di rumah telah dirintis oleh Kampung Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan. Pelopornya Ibu Bambang, 72, ketua Komite Lingkungan PKK Kampung Banjarsari. Hingga sekarang hasil rintisan Ibu Bambang menjadi tempat menimba ilmu bagi para pelajar agar lebih peduli terhadap sampah. (Nda/V-1) Post Date : 16 Februari 2004 |