Bom Waktu yang Terus Berdetik

Sumber:Kompas - 19 Maret 2008
Kategori:Sanitasi

Jumlah penduduk Jakarta tahun 2000 sekitar 8,36 juta orang, sementara tahun 2006 menjadi 8,9 juta orang. Suatu saat masalah sanitasi akan bisa menjadi bom waktu bagi lingkungan kita.

Sebagian dari kita tidak sadar bahwa setiap tetesan polusi yang kita lemparkan ke badan air kita lama-kelamaan akan berjumlah sangat besar dan akhirnya menjadi pencemar lingkungan yang sangat berbahaya bagi kesehatan kita. Proses pencemaran akibat sanitasi buruk memang butuh lama untuk bisa terlihat dampaknya sehingga orang tidak sadar akan bahayanya dan cenderung mengabaikannya.

Kalimat di awal tulisan merupakan kalimat kunci yang mewakili paradigma sebagian besar masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah dan tinggal di tempat-tempat yang tidak tersedia sarana dan prasarana sanitasi serta air bersihnya. Hidup mereka yang sedemikian jauh dari perilaku hidup sehat bukanlah pilihan karena mereka tidak memiliki akses dan dana untuk mendapatkan sanitasi yang memadai secara kesehatan.

Di komunitas seperti ini dibutuhkan intervensi pemerintah untuk membawa masyarakat di level ini hidup dengan kesadaran akan kebersihan lingkungan—artinya kebutuhan akan sarana sanitasi dan air bersihnya pun terpenuhi.

Tertinggal jauh

Sanitasi dan masalah air bersih merupakan persoalan mendasar dalam aspek kesehatan. Seorang panelis menggambarkan betapa tertinggalnya kondisi Indonesia. Dalam masalah sanitasi, misalnya, wilayah perkotaan di Indonesia sudah terlayani 69 persen, sedangkan Singapura (yang tidak memiliki pedesaan) telah mencapai 100 persen. Angka tersebut sebenarnya sungguh menipu.

Panelis tersebut secara gamblang mengungkapkan, standar Indonesia baru sampai pada ”asal (buang air besarnya) tidak kelihatan”, padahal mungkin saja buangannya juga langsung ke sungai. Jika disamakan standarnya dengan standar Singapura, angkanya jelas lebih kecil. Artinya, pencapaian Indonesia untuk sistem sanitasi baru sampai pada kuantitas, belum sampai pada kualitas.

Pemerintah mencoba mengkaji ulang rencana strategi pembangunan infrastruktur sanitasi 2005-2009. Persoalannya, dari target infrastruktur pengolahan air limbah 388 kabupaten/kota baru terpenuhi 217 kabupaten/ kota (56 persen). Tahun ini ditargetkan dibangun di 69 wilayah, sementara sisanya, 102 wilayah, ditargetkan pada tahun 2009. Sementara infrastruktur persampahan dari target 456 kabupaten/kota kini tercapai 291 (64 persen) dan ditargetkan 66 pada tahun ini, sedangkan sisanya 99 buah pada tahun 2009. Drainase dari target 7.282 hektar (ha) tercapai 4.683 ha—sisanya dibangun tahun ini 71 ha dan 2.528 ha pada tahun 2009.

Rupanya apa yang diupayakan pemerintah pusat pun tidak selamanya bisa dengan mulus diterima pemerintah daerah. Misalnya Denpasar yang memiliki posisi istimewa sebagai kota wisata, pada awalnya pun menolak proyek pembangunan instalasi air limbah (sewerage) yang 97 persen gratis. Perlu proses alot sampai akhirnya rencana itu bisa terwujud.

Kebijakan pemerintah untuk sanitasi dan air antara lain melalui penguatan akses terhadap pengolahan air limbah, peningkatan pembiayaan, peningkatan peran masyarakat, penguatan lembaga-lembaga pengelolaan, dan pengembangan perangkat perundangan. Menurut dua panelis dari dua departemen, kini telah ada kesamaan program dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan sehat dengan melakukan pemberdayaan masyarakat.

Teknis dan nonteknis

Namun, hal itu belum cukup. Kondisi sanitasi dan penyediaan air masih demikian parah. Perusahaan Daerah Air Minum sebagai perusahaan penyedia air bersih perpipaan pada tahun 2007 kondisinya, yaitu 80 perusahaan sehat, 116 kurang sehat, dan 139 sakit, dari total 335 PDAM. Mereka ini terbelit utang total sekitar Rp 5,66 triliun.

Kini memang telah diupayakan koordinasi di antara departemen. Sejumlah program tentang sanitasi dan kesehatan masyarakat muncul di sana-sini, misalnya soal penyediaan air minum berbasis masyarakat (PAM Simas) serta sanitasi total berbasis masyarakat yang didukung oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pekerjaan Umum.

Persoalannya, masalah sanitasi dan penyediaan air masih didekati dari segi teknis (hardware) saja, padahal masalah nonteknisnya besar. Persoalan sampah misalnya, jangan hanya dilihat timbunannya, melainkan dari hulunya mesti dilihat. Siapa yang membuang sampah dan bagaimana membuangnya. (Menyedihkan sekali ketika menyaksikan dalam pameran Mega Bazaar yang baru lalu di Jakarta Hilton Convention Center karpet nyaris seluruhnya tertutup kertas brosur yang dibuang sembarangan. Bisa dibayangkan bagaimana sebenarnya pandangan masyarakat terhadap sampah).

Selain itu, persoalan sanitasi juga masih diatasi dengan pendekatan secara sepotong-potong, tanpa memikirkan tata ruang secara keseluruhan atau kawasan. Akibatnya sering kali terjadi pembangunan sarana air limbah atau pembangunan drainase yang tidak terhubung satu sama lain.

Kerja pemerintah itu, menurut salah satu panelis hanyalah sekadar kampanye bagi pemerintah karena tidak ada lagi induk perencanaan seperti GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara)—yang dulu dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat—di masa lalu. Menurut panelis tersebut, dari tahun 2005 hingga tahun 2008 tidak ada yang menyebutkan bahwa sanitasi adalah prioritas. Akibatnya, masalah sanitasi juga bukan prioritas di anggaran—yang mendapat perhatian besar sekarang adalah program pengentasan orang miskin, pemberantasan korupsi, pengadaan lapangan pekerjaan, serta revitalisasi pertanian.

Yang lebih nyata, kini subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang banyak disebut salah sasaran itu kini berjumlah sekitar Rp 107 triliun atau 214 kali anggaran untuk sanitasi. Masalah anggaran, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), juga bukan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat sehingga sulit untuk mengubah, berbeda dengan undang-undang. Saat ini menyangkut sanitasi dan kesehatan, DPR sedang menggodok UU Persampahan. Dana untuk daerah dari dana alokasi khusus (DAK) untuk sanitasi dan air minum juga hanya 5,3 persen dari DAK seluruhnya.

Karena visi yang tidak jelas pada persoalan sanitasi dan air minum tersebut, masyarakat perlu melakukan tekanan terhadap pemerintah dan DPR agar kedua hal tersebut diposisikan pada posisi prioritas. Apabila tidak terjadi perubahan paradigma dan visi, apa yang dikemukakan seorang panelis bahwa masalah sanitasi dan air minum adalah bom waktu niscaya akan meledak suatu ketika nanti. Mungkin tak akan lama itu terjadi jika pertambahan jumlah penduduk tidak dikendalikan.

Bisakah kita membayangkan sebuah situasi di mana rumah sakit kemudian penuh dengan mereka yang menderita kolera, demam berdarah, diare, dan seterusnya, serta kemudian korban-korban pun berjatuhan. Kini bom waktu itu masih terus berdetik.... Brigitta Isworo L



Post Date : 19 Maret 2008