|
Bogor, Kompas - Pemerintah Kabupaten Bogor memastikan segera meneliti izin usaha-usaha penyedotan air tanah atau mata air. Sebab, keberadaan usaha penyedotan air itu lebih banyak merugikan masyarakat Bogor. Selain itu, Pemkab memastikan juga akan membongkar vila atau bangunan yang berada di hutan lindung kawasan Puncak. ”Kita stop eksploitasi pemanfaatan air bawah tanah Bogor. Usaha-usaha itu di sini lebih banyak mudaratnya, membuat sawah dan sumur kering kekurangan air. Truk pengangkut air hanya membuat infrastruktur di sini rusak karena mereka mengangkut air berlebihan,” kata Bupati Bogor Rachmat Yassin, Senin (23/3) pagi. Yassin mengatakan hal itu berkaitan dengan peringatan Hari Air Sedunia di Kabupaten Bogor. Bersamaan dengan itu, dia juga meresmikan program Zona Air Minum Prima PDAM Tirta Kahuripan, pelopor proyek penerapan program itu, di Perumahan Sentul Mutiara di Kecamatan Sukaraja. Menurut Yassin, pendapatan Pemkab dari usaha sedot air tanah/mata air hanya 1/8 dari total pendapatan. Jumlah itu, katanya, sangat tidak sebanding dengan besar kerusakan yang ditimbulkan pada lingkungan dan infrastruktur Bogor. ”Saya sudah perintahkan Dinas Pertambangan untuk meneliti ulang izin-izin usaha itu. Kalau perlu, tutup izin usahanya. PDAM Tirta Kahuripan yang harus menutupi kebutuhan air bersih masyarakat,” katanya. Vila di hutan lindung Adapun mengenai kerusakan kawasan resapan air, khususnya di kawasan Puncak, Bupati Bogor memastikan pembongkaran atas vila-vila tersebut adalah keharusan. Hasil pendataan dan penelitian kawasan tersebut yang belum lama ini dilaporkan tim peneliti kepada Bupati, antara lain, menunjukkan ada 16 vila berada di areal hutan lindung di wilayah Cisarua. ”Kalau berada di hutan lindung, tidak ada pilihan, harus dibongkar. Kami sedang cari waktu tepat untuk pembongkarannya. Tidak bisa dalam waktu dekat ini karena masalah kesiapan aparat saya. Sekarang tenaga mereka lagi dipakai untuk kegiatan lain (pengamanan pemilu),” kata Yassin. Vila atau bangunan di luar hutan lindung tetapi masih di kawasan konservasi atau resapan air, lanjutnya, akan diteliti lagi luas fisik bangunan atau areal tutupannya. Jika melebihi ketentuan koefisien tutupannya, yakni lebih dari 5 persen, pemilik bangunan harus membongkar kelebihannya. ”Luas bangunan harus sesuai. Yang kelebihan harus dibongkar. Kalau kemudian (vila) jadi gubuk, itu bukan urusan pemerintah. Kita bicara penegakan hukum. Kami senang seperti Pak Sutiyoso yang sudah sejak dahulu membongkar sendiri vilanya,” kata Yassin. (RTS) Post Date : 24 Maret 2009 |