|
Usaha perdagangan karbon dibuka untuk umum. Pemerintah akan mendorong swasta memanfaatkan peluang yang ada. Ecosecurities Indonesia memulainya dari kandang sapi. Carbon trading tak lagi mengawang sebagai wacana. Setelah sewindu menjadi bahan diskusi dan seminar, perdagangan karbon kini telah memasuki pentas bisnis riil. Peternakan sapi milik PT AustAsia Bekri, Lampung, misalnya, membangun instalasi baru untuk pengolahan limbah dalam kaitan carbon trading. Begitu halnya dengan pengolahan sampah Pangkalpinang, Bangka. Pemerintah Kota (Pemkot) Pangkalpinang pekan lalu meneken kontrak pengolahan sampahnya dengan Ecosecurities Indonesia, perusahaan "pengembang" jasa carbon trading di Indonesia. Bisnis berwawasan lingkungan carbon trading itu sendiri cakupannya sangat luas. Pengolahan limbah pertanian dan sampah kota hanya salah satu bagian. Usaha kehutanan, perkebunan, dan energi baru juga punya peluang besar. Prinsipnya, perdagangan karbon itu mencakup semua upaya menekan emisi karbon dioksida (CO2), terutama dari hasil pembakaran bahan bakar fosil berupa minyak, gas, dan batu bara. Maklum, konsumsi bahan bakar fosil selama ini membuahkan emisi karbon dioksida dalam jumlah amat besar. Akibatnya, konsentrasi CO2 di udara melonjak tinggi. Suhu udara pun beringsut naik, karena CO2 menjebak energi surya yang jatuh ke bumi. Begitulah efek rumah kaca berlangsung. Global warming terjadi. Kontribusi terbesar dari pembakaran minyak bumi. Sejak minyak bumi ditemukan dan dikonsumsi pada 1859, kadar CO2 melonjak dari 280 ppm ke 380 ppm dan akan terus menanjak. Kalau emisinya tak bisa direm, menjelang minyak habis tahun 2050, suhu bumi secara rata-rata akan naik 2 derajat celsius. Itu lonceng tanda bahaya terjadinya anomali cuaca dan iklim yang serius. Bumi di ambang kehancuran. Mengolah limbah secara ramah lingkungan, seperti dilakukan di Pangkalpinang dan Lampung, memang tidak secara langsung mengurangi emisi CO2. Namun, paling tidak, biogas yang dihasilkan proses itu bisa menghemat pembakaran bahan bakar fosil. Pupuk kompos yang dihasilkan juga dapat menamah kesuburan tanah, memberi peluang tumbuhnya vegetasi baru yang bisa menyerap CO2 di udara. Format carbon trading itu sendiri adalah buah implementasi Protokol Kyoto, 11 Desember 1997. Seperti diketahui, Potokol Kyoto itu adalah instrumen hukum untuk menanggulangi pemanasan global yang dipastikan akan menyebabkan perubahan iklim. Maka, penurunan emisi CO2 pun didorong, antara lain, melalui perdagangan karbon. Adapun tata cara carbon trading ini diatur dalam mekanisme CDM (clean development mecanism). Pola CDM itu diperkenalkan, mengingat tidak mudah memaksa negara-negara di dunia mengurangi emisi karbonnya. Amerika Serikat sendiri masih saja menolak Protokol Kyoto. Negara maju (dalam Protokol Kyoto dikelompokkan ke dalam Annex I) punya ketergantungan sangat tinggi pada konsumsi bahan bakar minyka. Maka, diaturlah dalam CDM itu, negara Anex I bisa membayar insentif bagi negara berkembang yang melakukan upaya penurunan emisi. Setiap upaya penurunan emisi yang ekuivalen dengan satu ton karbon (tCO2e) akan dihargai satu CER (certified emission reduction). Sertifikat kredit karbon ini dikeluarkan Badan Eksekutif CDM yang berada di bawah naungan PBB. Nah, negara Annex cukup membeli CER dari negara berkembang. Indonesia tercatat mencapai emisi 486 juta tCO2e pada 2005. Hingga 2012, ada potensi 125juta tCO2e yang bisa diperdagangkan di pasar CER. Masnellyarti Hilman, salah satu Deputi Menteri Lingkungan Hidup, mengatakan bahwa Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004, dan karenanya punya peluang besar dalam perdagangan CER dunia. ''Pemerintah berusaha menjadi katalisator agar negara maju membeli upaya Indonesia dalam penurunan emisi ini,'' katanya. Saat ini, tutur Masnellyarti, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup telah menjalin kerja sama dengan negara Belanda, Denmark, Kanada, dan Jepang. "Pemerintah akan memberikan informasi proyek-proyek potensial yang bisa dikembangkan dalam penurunan emisi gas karbon ini," ujarnya. Tingginya potensi pasar CER itu dilirik pihak swasta seperti Ecosecurities dari Inggris. Perusahaan jasa perdagangan dan pengurusan pendaftaran sertifikasi CER ini berani menargetkan perolehan CER dari Indonesia sebanyak 25 juta ton hingga 2012. Sejak hadir pada Oktober tahun lalu, Ecosecurities Indonesia telah menggaet 20 klien. Sektor usaha kliennya beragam. Ada yang bergerak di agrobisnis (seperti peternakan, pabrik kelapa sawit, dan pabrik tapioka), pengolahan sampah, hingga energi biodiesel. "Total CER yang akan diperoleh hingga 2012 sekitar 9 juta CER," kata Tara F. Khaira, Senior Manager Klien Ecosecurities Indonesia. Mendapatkan CER tidaklah mudah. Harus melewati jalan panjang. Mulai uji kelayakan proyek hingga memperoleh persetujuan dari Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih, yang berada di bawah naungan pemerintah. Lantas proyek itu didaftarkan pada Badan Eksekutif CDM untuk mendapatkan setifikat. Proses ini harus melewati verifikasi pula dari auditor independen yang ditunjuk PBB. Jika ditemukan kejanggalan, proyek bisa ditolak. Namun, menurut Tara, perusahaan yang menjadi kliennya tidak perlu khawatir atas risiko kegagalan tersebut. Seluruh risiko ditanggung Ecosecurities. Klien cukup berkonsentrasi pada bisnis utamanya. "Jika ternyata tidak mendapatkan sertifikat, kerugian kami yang menanggung,'' kata Tara. Apalagi, katanya pula, limbah klien yang selama ini menjadi beban bisa tertangani secara tuntas. Tara mencontohkan peternakan sapi milik perusahaan AustAsia Lampung Bekri, yang ada di Lampung. Usaha sapi potong ini membudidayakan 18.000 ekor sapi. Tiap hari, si pengusaha harus berurusan dengan kotoran sapi 25.000 kg. Sebelumnya, limbah itu ditimbun saja di kolam penampungan. Baunya menyengat. Kini limbah itu diurus oleh Ecosecurities. Dibuatkanlah instalasi pengolahan dengan sistem flushing atau pembilasan, dan limbah dimasukkan ke kolam fermentasi. Hasilnya, biogas yang menghasilkan daya listrik 0,68 MW. Klien lainnya adalah Pemkot Pangkalpinang,di Provinsi Bangka Belitung. Di sana, Ecosecurities mengelola 100 ton sampah per hari. Dari mana Ecosecurities meraih untung? Untuk proyek peternakan sapi, dari pengolahan limbah diperkirakan akan diperoleh penurunan emisi 25.000 tCO2e per tahun. Itu artinya, peternakan akan mengantongi 25.000 lembar CER per tahun dan bakal berlanjut hingga 2012. Sejak awal telah disepakati perjanjian emission reduction purchase agreement (ERPA). Klien harus menjual CER-nya pada Ecosecurities dengan harga yang telah ditetapkan pada awal kontrak. Ecosecurities menjualnya ke pasar bebas dengan harga lebih tinggi. Misalnya Ecosecurities membeli US$ 3 per lembar CER. Ia bisa saja menjualnya US$ 12 per lembar. "Selisih penjualan tadi yang menjadi keuntungan kami," ujar Tara. Dalam proyek TPA Pangkalpinang diberlakukan kontrak berbeda. Bukan sistem ERPA, melainkan royalti. Pemkot Pangkalpinang tak harus menjual CER-nya ke Ecosecurities. Ia boleh melegonya ke mana saja dengan harga tertinggi, lantas memberi komisi ke perusahaan Inggris tersebut. Dari pengolahan sampah menjadi kompos diperkirakan diperoleh penurunan emisi 10.000 tCO2e per tahun. Pemkot Pangkalpinang berhak memboyong 10.000 CER per tahun. ''Keuntungannya memang lebih sedikit, tapi risiko yang kami tanggung tidak pula terlalu besar," kata Tara. Tara pun menantang para calon klien untuk pekerjaan lainnya. Ia mengaku siap. Ayo, siapa berminat. Sujud Dwi Pratisto dan Mukhlison S. Widodo Post Date : 01 November 2006 |