|
DI sebelah selatan Pasar Karanganyar, Kabupaten Demak, yang terletak di tepi jalan raya Semarang- Kudus, terdapat sumber air yang konon sudah ditemukan sejak pemerintahan Belanda. SEMULA hanya berupa umbul (sumber air yang memancar ke atas permukaan tanah) dan dimanfaatkan penduduk untuk air minum, mandi, dan cuci. Bahkan, karena debitnya cukup besar, bisa untuk mengairi sawah. Kemudian ketika dibangun sebuah pasar, umbul tersebut ditampung pada sebuah bak permanen dari beton, lalu disalurkan untuk memenuhi kebutuhan pedagang dan pembeli Pasar Karanganyar yang hendak mandi, cuci, hingga buang hajat. Sebagian lagi disalurkan untuk mengairi sawah petani dan perkantoran/ rumah dinas Camat Karanganyar. Namun, dengan dibangunnya saluran induk Klambu Kiri yang memperoleh pasokan air dari Waduk Kedung Ombo, air umbul yang diarahkan ke sawah petani "dimatikan". Begitu pula yang menuju perkantoran dan rumah dinas camat, karena perkantoran dan rumah dinas Camat Karanganyar dipindahkan ke lokasi yang lebih strategis, di tepi jalan raya Kudus-Semarang, sekitar satu kilometer dari lokasi lama. Menurut penuturan Kepala Desa Karanganyar Suprapto, yang ditemui Kompas di ruang kerjanya, Kamis (8/7), pengelolaan sumber air tersebut diambil alih pihak karang taruna desa setempat, seiring dengan bergulirnya era reformasi tahun 1999/2000. "Saya tidak tahu persis cara mengelolanya. Namun, yang pasti, sejak dua tahun terakhir diambil alih desa," tuturnya. Sistem pengelolaannya diserahkan kepada warga lewat lelang terbuka. Tahun 2003 laku Rp 36,75 juta dan uang dimasukkan ke kas desa, sedangkan penggunaannya berdasarkan rembuk desa/warga. Tahun 2004 laku Rp 35 juta. Pemenang lelang wajib memelihara dan memperbaiki berbagai kerusakan yang terjadi di kompleks sumber air. Khusus warga Desa Karanganyar dibebaskan untuk mengambil air dari tempat ini sesuai dengan kebutuhan. "Pemenang lelang bebas untuk menjual airnya ke luar Desa Karanganyar dan harganya juga tidak ditentukan asal tidak memberatkan konsumen," tutur Suprapto menambahkan. SEBAGAI pemenang lelang dua kali berturut-turut, Samsuri memasang tarif Rp 200 per jeriken isi minimal 20 liter. "Pembeli umumnya adalah penjual jasa karena tidak dinikmati sendiri, melainkan dijual lagi kepada konsumen di luar Desa Karanganyar yang membutuhkan. Kami melayani 24 jam, terutama pada saat musim kering. Tidak banyak untungnya," tuturnya. Oleh penjual jasa, air tersebut dijual kepada para pelanggan dengan harga bervariasi, dari Rp 500 hingga Rp 1.500 per jeriken, tergantung jarak. Apabila jaraknya dekat, cukup Rp 500 dan yang paling jauh Rp 1.500 per jeriken. Penjual jasa air bersih itu umumnya menggunakan mobil bak terbuka, yang mampu mengangkut minimal 20 jeriken sekaligus dan bisa menjelajah ke berbagai pelosok desa yang membutuhkan. Sedangkan sebagian kecil menggunakan gerobak dorong yang hanya sanggup mengangkut 10 jeriken ukuran agak kecil. Menurut Samsuri, ia belum bisa memastikan apakah dalam tahun 2004 (dihitung sejak 1 Januari31 Desember) meraih untung sedikit seperti tahun 2003 atau malah rugi. "Sebab tergantung cuaca. Semakin panjang musim kemaraunya, penjualan air juga laku keras. Tapi menurut pengamatan saya, sudah sejak dua tahun terakhir debit air umbul selatan Pasar Karanganyar terus menyusut. Kami juga khawatir debit air semakin menipis apabila proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik Pura Group Kudus (PGK) yang konon akan dioperasikan Agustus mendatang. Itu artinya saya merugi dan pelanggan air dari sini juga terkena dampaknya," ujar Samsuri. Memang, pada tanggal 17 Desember 2003 PGK secara resmi menandatangani nota kesepahaman dengan PLN Jawa Tengah dan diproyeksikan pada Agustus 2004 bisa dioperasikan. PLTU PGK tersebut menempati areal seluas 2,5 hektar, yang terletak di Desa Jati Kulon, Kecamatan Jati, Kudus, atau sekitar tiga kilometer dari lokasi sumber air Pasar Karanganyar (Demak) dan "terhalang" Sungai Wulan. Menurut penjelasan Humas PGK Hassan Aoni Azis, PLTU ini akan menggunakan sumber air bawah tanah 2,7 liter per detik yang digunakan untuk air umpan boiler dan hasil pengolahan limbah 16,5 liter per detik sebagai pendingin turbin. Kepala Desa Karanganyar yang bertubuh gempal yang didampingi sejumlah perangkat mengakui tidak tahu-menahu ihwal kelangsungan sumber air Pasar Karanganyar yang setiap harinya (terutama pada musim kering) mengucur untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi ribuan warga desa setempat maupun warga luar desa. Akibatnya, dari hasil lelang sebanyak Rp 71 juta lebih, tidak ada satu sen pun yang dialokasikan untuk sarana mempertahankan kelangsungan sumber air tersebut. Misalnya untuk menanam penghijauan. "Biar Pemerintah Kabupaten Demak yang memikirkan. Terus terang saya tidak mengerti. Tapi memang ini karunia Tuhan, di samping sumber air Pasar Karanganyar, sebagian besar penduduk kami juga memiliki sumur sendiri yang airnya cukup jernih dan hanya kedalaman beberapa meter saja sudah ada airnya," ujar Suprapto. (SUP) Post Date : 13 Juli 2004 |