|
Ketersediaan air bersih dan sanitasi masih menjadi salah satu persoalan kesehatan di Indonesia. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah telah melakukan penyuluhan dan menggelar berbagai program. Misalnya, pembuatan sumur resapan, pengolahan air kotor, pembuatan penampung dan penggunaan air hujan, program efisiensi penggunaan air dan manajemen air, serta program kesehatan lingkungan. Ketersediaan dan akses air bersih di wilayah padat penduduk cenderung makin sulit dari tahun ke tahun. Data dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan mulai 2003, di beberapa daerah, seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, terjadi kekurangan ketersediaan air, terutama selama musim kering. Diperkirakan pada 2020 kondisi kekurangan air ini akan meningkat dua kali lipat. Kegelisahan itulah yang menghinggapi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). "Sebagai lembaga ilmu pengetahuan, kami harus bertindak," kata pakar fisika dari LIPI Dr Neni Sintawardani kepada Pembaruan, baru-baru ini. Neni menuturkan, salah satu upaya yang untuk mengatasi hal tersebut adalah membuat jamban (water closet/WC) kering alias tidak membutuhkan air. WC kering? "Ya, itu bisa jadi solusi di permukiman kumuh atau sulit air," kata Neni. Dijelaskan, tantangan terbesar dari perbaikan sanitasi di masyarakat adalah persepsi bahwa jamban adalah ruang kotor yang berada di belakang. Selain itu, keterbatasan sarana sanitasi, baik saluran air kotor komunal maupun sarana air bersih, menjadi kendala yang banyak dihadapi masyarakat di berbagai daerah, terutama di daerah padat penduduk atau daerah kering. "Penerapan WC kering atau biotoilet jelas sangat menghemat air," katanya. Serbuk Selulosa Temuan itu ternyata sudah dimanfaatkan Pondok Pesantren (Ponpes) Daarut Tauhid, Bandung. Buang air besar (BAB) tak perlu memboroskan air. Lebih dari setahun lalu, pesantren pimpinan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) telah membangun satu unit biotoilet di sudut ponpes yang megah itu. Sebenarnya, biotoilet memiliki kemiripan dengan toilet konvensional, seperti penggunaan WC duduk atau jongkok. Perbedaannya, pada biotoilet tak ada saluran pipa guna menggelontorkan kotoran ke selokan atau septic tank. Lalu ke mana larinya kotoran itu? Neni menjelaskan, di era 1980-an, masyarakat desa membuat WC dengan cara menggali tanah seperti membuat sumur. Bagian atas kemudian ditutup dengan kayu dan diberi lubang tempat jongkok untuk membuang hajat. Setelah penuh, ditimbun dengan tanah, kemudian membuat galian baru. Pada WC kering ini, kotoran langsung ''ditangkap'' oleh serbuk-sebuk kayu yang ditempatkan di bawah lubang (reaktor) WC. Bagaikan mesin penyedot tinja, serbuk selulosa ini langsung menyerap dan mengolah kotoran secara biologis, sekaligus mengabsorpsi bau. Dengan cara ini, air pembersih limbah tak lagi diperlukan. Air yang ada di biotoilet, biasanya lewat selang, hanya dikucurkan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran pada tubuh atau lubang WC. Kebutuhan air bilas pada biotoilet dijatah sekitar 300 mililiter per orang atau kurang dari sebotol air mineral ukuran sedang. "Penggunaan air memang diminimalkan," jelas Neni lagi. Mengapa perlu biotoilet? Mulanya akses air bersih yang kian sulit, terutama di daerah padat penduduk atau daerah urban. Penelitian yang dilakukan Neni di daerah padat penduduk di Bandung pada 2003 menunjukkan akses terhadap air bersih makin sulit bagi golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. Air tidak lagi menjadi barang yang bebas diperoleh. Masyarakat harus membayar sekitar Rp 7.500 per 20 liter air. Di wilayah Jl Kiaracondong, Bandung, misalnya, air bersih cukup sulit dan bukan barang murah. Padahal, konsumsi air per orang tak kurang dari 18 liter per hari. Belum lagi jika musim kemarau tiba. Persepsi Selain serbuk kayu, bahan lainnya yang bisa digunakan adalah seperti serbuk gergajian, sekam, jerami kering, atau bonggol jagung. Serbuk-serbuk ini juga ditempatkan di bawah lubang WC. "Dalam tempo tiga jam, sebanyak 40 persen dari bakteri patogen sudah mulai terurai. Adapun proses penguraian sempurna memerlukan waktu sekitar 8-10 jam. Selain itu, bau pun bisa diminimalisasi," katanya. Menurut Neni, diperlukan sekitar seperempat kubik serbuk kayu untuk 25 orang pengguna WC kering (25 kali buang air kecil dan besar). Dengan demikian serbuk diperkirakan perlu diganti sekitar seminggu sekali. Jika tempat sudah penuh, kotoran dapat dimanfaatkan menjadi pupuk tanaman. Di samping itu, sifat penampung kotoran juga mudah dipindah (portable), sehingga dapat dipadu dengan pembuangan limbah dapur untuk pupuk tanaman. Komponen biotoilet bukan cuma lubang WC dan serbuk kayu, tetapi juga lubang udara, pengaduk, dan pemanas (jika diperlukan). Lubang udara diperlukan untuk mengalirkan bau akibat proses degradasi. Sementara, pengaduk diperlukan untuk memberi asupan udara ke dalam wadah untuk proses degradasi. Sementara pemanas diperlukan untuk mematikan bakteri. Secara teknis, pembuatan biotoilet cukup mudah dan bisa dibuat di bengkel. Bahan yang digunakan sebagai badan alat biasanya baja, bahan serat atau polimer kuat lainnya. Motor pengaduk juga dapat diperoleh dengan mudah di pasar. Motor dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa menggerakkan pengaduk dengan kecepatan rendah. Selain itu, dipergunakan alat pengontrol elektronik untuk mengatur pergerakan pengaduk secara periodik dalam waktu tertentu. Pipa sirkulasi udara bisa dibuat dari pipa plastik PVC atau batang bambu. Pembuatan ruang untuk tempat kotak biotoilet dapat disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat setempat. Dalam sosialisasi penggunaan WC kering, kata Neni, ditemukan adanya tantangan, yakni sulitnya mengubah persepsi masyarakat tentang standar penggunaan jumlah air bersih, kriteria bersih dan cara membersihkan WC yang beragam. Sebagian masyarakat masih memandang WC sebagai "kamar kotor", bukan "ruang untuk membersihkan". Sebagian masyarakat juga khawatir kotoran kurang terbasuh, jika air yang digunakan terlampau sedikit. "Yang jelas, uji coba penerapan teknologi biotoilet di Ponpes Daarut Tauhid dapat diterima para santri dan kita akan terus mengembangkannya," kata Neni. [Pembaruan/Willy Masaharu] Post Date : 29 Agustus 2006 |