Biopori, Cara Sederhana Atasi Banjir

Sumber:Suara Pembaruan - 17 September 2008
Kategori:Banjir di Jakarta

Setiap tahun, Kota Jakarta mendapat jatah banjir baik karena curah hujan yang tinggi atau kiriman dari daerah penyangga seperti Depok dan Bogor. Sebagai daerah hilir, semestinya menyiapkan dan menata Ibukota harus dipenuhi dengan daerah resapan air, sehingga dalam kondisi debit air meningkat bisa terserap.

Kenyataannya, persoalan yang multikompleks akibat urbanisasi menyebabkan lahan di Jakarta hampir ditutupi oleh bangunan dan daerah kedap air, karena tertutup semen. Lahan-lahan yang semula menjadi penampungan air, kini diuruk menjadi perumahan elite. Alhasil, air tidak terserap, tetapi meluber dan menggenangi permukiman penduduk.

Di tengah ketidakpastian menangani solusi karena belum kelarnya pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT), sedangkan ancaman banjir kian sulit diprediksi, seorang ilmuwan dari Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Kamir R Brata menawarkan solusi alternatif meminimalkan dampak banjir dengan teknologi lubang serapan Biopori atau mulsa vertikal.

Berbeda dengan penemuan padi Super toy dan Blue Energy yang sempat mencoreng citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akibat tidak diuji kebenarannya secara ilmiah, penemuan Kamir sudah melalui tahapan tersebut, sehingga sangat layak ditawarkan ke publik untuk diterapkan mulai dari ruang lingkup yang paling kecil dalam skala rumah tangga.

Apalagi, teknologi yang ditawarkan sangat sederhana, tepat guna, mudah diterapkan, dan harganya sangat terjangkau, tetapi dampaknya luar biasa untuk menyelamatkan lingkungan khususnya menjaga ketersediaan air tanah dan meminimalkan dampak banjir.

Teknologi ini pada prinsipnya menahan air hujan tidak langsung mengalir ke daerah yang lebih rendah, tetapi membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. Dinamakan teknologi biopori, karena mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap, sehingga memperbaiki struktur tanah.

"Cara ini di samping membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan menjadi solusi mengatasi banjir yang selalu melanda Jakarta," kata Kamir saat menyampaikan penemuannya itu beberapa waktu lalu.

Di kawasan perumahan yang hampir semua lahannya kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah telanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Selanjutnya, sampah organik berupa daun atau ranting kering serta sampah tumah tangga dimasukkan ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm hingga maksimal satu meter. Sampah organik, berfungsi membantu kehidupan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori.

Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan di ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir, namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang. "Jangan khawatir sampah organik akan meluap, karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Lubang yang diisi sampah juga tidak akan menimbulkan bau busuk, karena terjadi proses pembusukan secara organik," katanya.

Selain di lahan perumahan kedap air, teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka seperti di dekat pohon. Demikian juga di persawahan lahan miring, sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air.

Selain menjaga ketersediaan air tanah, biopori juga menyelamatkan lingkungan dari kepungan sampah. Sampah-sampah rumah tangga yang selam ini langsung dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPS), dengan teknologi ini memaksa masyarakat mengurai dan memasukkan sampah organik ke lubang tersebut.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam menerapkan teknologi ini sangat sederhana seperti bor tanah, cangkul, golok, palu, pahat, ember, gayung, bambu, pipa, dan sendok semen. Bor berfungsi untuk melubangi bidang tanah sekaligus mengangkat tanah hasil galian. Bor juga bisa digunakan untuk memasukkan kompos dalam lubang. Bor tanah terbuat dari besi yang didesain khusus. Di sepanjang bor ada alat ukur angka satuan sentimeter untuk mengetahui kedalaman lubang.

Mata bor dibuat dari lempengan besi tipis yang dibuat oval meruncing pada bagian ujungnya. Dengan desain seperti ini, bor bisa menembus tanah yang keras sekalipun. Panjang bor sekitar 120 sentimeter. Sementara di bagian pangkal dibuat pegangan, sehingga memudahkan dalam penggunaan. Bor tanah bisa dibeli di toko dengan kisaran harga Rp 175.000-Rp 250.000.

Cangkul digunakan untuk membersihkan permukaan tanah. Pahat dan palu digunakan untuk membongkar lapisan semen pada permukaan tanah yang disemen. Bahan yang digunakan untuk membuat lubang berupa semen, pasir, batu hias, air, dan sampah organik. Semen dan pasir digunakan untuk memperhalus permukaan lubang. Batu hias atau pecahan keramik berfungsi sebagai pemanis. Air untuk melunakkan tanah dan sampah organik digunakan untuk pengisinya.

Lubang resapan biopori (LRB) yang telah dibor selanjutnya pada sekeliling permukaan mulut lubangnya diberi semen agar kuat, lalu dimasukan potongan pipa PVC yang telah dibungkus koran pada lubang LRB sedalam 2 sentimeter. Lalu, sisipkan adukan semen dan pasir di sekeliling pipa. Bila penguat bibir lubang sudah mengeras, cabut pipa PVS dari tempatnya. Selanjutnya dorong kertas koran ke dalam lubang menggunakan jari tangan. Setelah lubang LRB siap, masukkan sampah organik ke dalam lubang sampai penuh.

Untuk memasukkan sampah lebih dalam bisa menggunakan bambu untuk mendorong ke dalam lubang. Pengisian sampah jangan terlalu padat agar tidak mengurangi jumlah oksigen di dalam tanah. Agar tidak membahayakan, lubang ditutup dengan besi beton atau alat penutup lain yang bisa dilalui air dan kuat menahan beban jika terinjak.

Dengan melihat uraian teknologi biopori yang mudah dan tepat guna, maka selayaknya pemerintah memberi apresiasi pada penemunya berupa penghargaan. Kendati demikian, penghargaan yang tidak ternilai jika pemerintah lebih gencar menyosialisasikan ke masyarakat.

Alasan keterbatasan anggaran kurang tepat, karena terbukti proyek triliunan untuk membangun bendungan justru menuai banyak masalah, karena dugaan praktik-praktik kurang terpuji dalam pembebasan lahan. Pemerintah seharusnya lebih arif dengan mendorong hasil penemuan yang murah dan tepat guna, ketimbang mendorong proyek-proyek mercusuar yang sarat dengan dugaan penyalahgunaan uang negara. Teknologi biopori salah satu solusi alternatif terkesan masih diabaikan, karena biayanya murah. [SP/Budi TP]



Post Date : 17 September 2008