JAKARTA -- Katiana Din Doeana, Queen Sugih Ariyani, dan Caecilia Sherina langsung melompat kegirangan begitu penelitian mereka dinyatakan sebagai pemenang pertama L'Oreal Girls Science Camp, yang diadakan di Bella Campa, Ciawi, akhir bulan lalu. "Yes! Yes! Yes!" teriak ketiga siswi kelas XI SMA Bina Nusantara Serpong itu.
Dari 15 tim SMA dari Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Kalimantan, penelitian mereka yang berjudul "Biogas Goes to School" dianggap paling layak meraih tabungan senilai Rp 5 juta, trofi, sertifikat, dan koleksi buku sains. Empat pemenang kompetisi L'Oreal National Fellow L'Oreal-UNESCO for Woman in Science, yang menjadi juri kompetisi bertema "Playing Smart with Energy" ini, sepakat memilih penelitian ketiga siswi berusia 16 tahun itu sebagai pemenang.
Penelitian Katiana dan kedua temannya itu bermula dari tumpukan sampah rumput di belakang sekolah mereka. "Sekolah kami memiliki taman dan lapangan olahraga seluas lebih dari 1 hektare," kata Katiana. Dalam dua minggu, berat sampah rumput bisa mencapai 700 kilogram.
Selama ini sekolah telah "mengkomposkan" sampah itu untuk dijadikan pupuk. Namun mereka yakin sampah itu bisa lebih bermanfaat untuk penghematan energi. "Gas dalam sampah rumput bisa dijadikan sumber energi untuk kantin sekolah, misalnya," kata Queen.
Bermodalkan pengetahuan dasar yang mereka peroleh dari Internet dan bimbingan dua guru, Katiana, Queen, serta Caecilia mencoba mengetes adanya kandungan gas dalam sampah rumput dengan memanfaatkan pot bekas. Awalnya, sampah rumput disiram air tape yang sudah dicampur gula pasir dengan komposisi 25 liter air bersih, 2,5 kilogram tape, dan 1 kilogram gula pasir. Sampah yang sudah diberi air tape dan gula pasir ditutup rapat dengan plastik hitam. "Kami usahakan tidak ada celah untuk udara dan sinar matahari masuk saat proses fermentasi," kata Queen.
Selama dua minggu proses fermentasi itu berlangsung, ketiganya tidak mengutak-atik pot sampah rumput tersebut. "Yang kami khawatirkan cuma kalau ada tikus atau kucing yang mengoyak tutup pot itu hingga terbuka. Kalau itu sampai terjadi, habislah penelitian kami," kata Katiana.
Ketiga siswi ini juga melakukan penelitian pembanding untuk mendapatkan hasil yang representatif dengan menggunakan kompos nonrumput yang dicampur air, gula, dan tape dengan takaran yang sama. "Kami ingin melihat seberapa besar keberhasilan penelitian biogas dari sampah rumput yang kami lakukan," ujar Katiana. "Penelitian dengan kompos nonrumput sudah pernah dilakukan. Kalau menggunakan sampah rumput, setahu kami belum ada yang meneliti."
Setelah proses fermentasi selesai, mereka mengetes kadar biogas dengan menggunakan pipa yang dimasukkan ke pot sampah rumput dan pot kompos nonrumput. Mereka kemudian memantikkan api untuk mengetahui kadar biogas yang dihasilkan di kedua pot itu. Hasilnya, jumlah biogas yang dihasilkan dari kompos lebih banyak daripada biogas dari sampah rumput, bila dilihat dari besarnya api di ujung pipa.
Caecilia mengasumsikan berat total biogas yang dihasilkan dari 700 kilogram sampah rumput itu bisa mencapai 35 kilogram. "Hasil pengukuran itu berdasarkan asumsi dari literatur," ujarnya. "Kami belum mengukur dengan terperinci berat kilogramnya. Tapi hasilnya konkret."
Kemenangan dalam kompetisi L'Oreal ini memicu semangat mereka dalam melanjutkan penelitian untuk mengukur berat biogas yang dihasilkan dari olahan 700 kilogram sampah rumput. "Bila hasilnya benar mencapai 35 kilogram biogas, kami berencana mengujicobakan biogas tersebut di kantin sekolah," kata Caecilia.
Selain lebih mengirit biaya, "Akan memberikan manfaat buat sekolah," katanya.
Bila dihitung berdasarkan ongkos, biogas karya Katiana cs lebih hemat bila dibandingkan dengan elpiji, karena biogas seberat 35 kilogram sama dengan tiga tabung elpiji ukuran 12 kilogram. Anggaplah harga satu tabung elpiji 12 kilogram Rp 70 ribu, maka tiga tabung elpiji berarti Rp 210 ribu. Sedangkan dalam membuat 35 kilogram biogas dari sampah rumput itu, mereka hanya mengeluarkan biaya tak lebih dari Rp 20 ribu untuk membeli gula pasir dan tape. "Jadi biogas ini bisa mengirit biaya hingga Rp 190 ribu," kata Caecilia.
Wiratni, peneliti dan pengajar dari Universitas Gajah Mada, yang menjadi salah satu juri, menyatakan amat terkesan atas ide orisinal dari SMA Bina Nusantara Serpong. "Kami senang sekali ketika pada akhir presentasi mereka mengatakan, 'Bayangkan jika sekolah lain melakukannya juga, berapa banyak energi yang bisa kita simpan.' Kami senang karena sekolah selevel Binus memperhatikan masalah energi dengan serius," kata pemenang National Fellow L'Oreal 2007 itu.
Guru pembimbing SMA Bina Nusantara Serpong, Maya Anggraini, sangat gembira menyambut kemenangan ketiga siswinya itu. "Katiana, Queen, dan Caecilia adalah siswi berprestasi. Katiana sangat komunikatif, Queen kemampuan sainsnya sangat baik, dan kemampuan presentasi Caecilia bagus sekali. Selain itu, ketiganya jelas punya kemampuan akademik di atas rata-rata," kata Maya. Pemilihan penelitian diserahkan sepenuhnya kepada tiga gadis berbeda kelas yang semula tak saling kenal itu. "Kami hanya membantu sebatas yang diperlukan."
Selain Binus, SMA Negeri 1 Gunung Sindur, Bogor, serta SMA Negeri 2 Kandangan, Kalimantan Selatan, menjadi pemenang kedua dan ketiga kompetisi ini. "Briket Wangi dari Kotoran Kerbau" dan "Minyak Nonkolesterol dari Limbah Ikan Tauman", yang menjadi judul penelitian dari dua sekolah itu, dianggap aplikatif dalam menghemat energi dalam kehidupan sehari-hari.
Corporate Communication & Public Relations Manager L'Oreal Indonesia Melanie Kridaman mengatakan pihaknya sangat senang melihat banyaknya antusiasme dari remaja Indonesia yang mengikuti kompetisi ini. "Untuk pertama kalinya kami bekerja sama dengan dinas pendidikan di seluruh kabupaten dan kotamadya di Indonesia. Hasilnya, ada 15 tim yang menjadi finalis," katanya.| AMANDRA MUSTIKA M
Post Date : 23 Juli 2010
|