BADAN Regulator Pelayanan Air Minum (BR PAM) menilai, hasil daur ulang air limbah dengan menggunakan sistem bio membran memiliki kualitas lebih baik dan lebih murah dibanding air PAM. Hal tersebut dapat membahayakan keberadaan operator air tersebut jika mereka tidak dapat meningkatkan kualitas kerja.
Anggota Bidang Teknik BR PAM DKI Jakarta Firdaus Ali mengatakan, fenomena konsumen air mengolah sendiri kebutuhan airnya dan berhenti menjadi pelanggan PAM Jaya dapat menjadi kenyataan. "Ini bisa terjadi jika para konsumen dapat mengolah airnya sendiri dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik," kata Firdaus, Kamis (4/6).
Dia mengungkapkan, saat ini sudah marak terjadi pengolahan air limbah menjadi air layak konsumsi. Dia mencontohkan seperti yang telah dilakukan, Pelindo II, Ancol, dan Plaza Indonesia. "Plaza Indonesia saat ini, telah mendaur ulang air limbahnya dengan menggunakan sistem bio membran yang hasil olahannya lebih murah dan kualitas airnya lebih baik dari PAM," katanya.
Menurut dia, jika tarif air bersih yang diproduksi PAM Jaya melalui kedua mitra swastanya (Palyja dan Aetra) terus naik, maka dapat dipastikan pelanggan air bersih akan menghentikan berlanggan. "Saya konsen akan hal ini. Demi kelanjutan usaha mereka, saya selalu ingatkan untuk meningkatkan kinerja," ujarnya.
Menurut Firdaus seharusnya penghitungan water charge dikaitkan dengan pencapaian kinerja, bukan berbasiskan kebutuhan finansial. "Tidak seperti yang berlaku saat ini, di mana formula penetapan water charge hanya berbasiskan kebutuhan finansial kedua mitra swasta tersebut. Sampai kapan kita akan menaikan tarif ini. Pada akhirnya yang dibebankan adalah masyarakat," katanya.
Selain itu dia mengungkapkan, target kinerja yang harus dicapai antara lain penurunan Non Revenue Water (NRW) atau tingkat kebocoran air. Aetra ditargetkan menurunkan tingkat kebocoran air dari 50 persen pada 2009 menjadi 42 persen pada 2012. Sedangkan, Palyja ditargetkan menurunkan NRW dari 45,2 persen menjadi hanya 35,4 persen pada akhir masa rebaising periode ini. "Kedua operator swasta tersebut tidak pernah mencapai target kinerja yang ditetapkan pada periode rebaising sebelumnya. Padahal, jika kedua operator swasta PAM Jaya meningkatkan kinerjanya, maka yang diuntungkan mereka sendiri. Jika kerja mereka tidak efisien, maka konsumen air akan berpindah atau, memproduksi air bersih sendiri," katanya.
Dia juga mengungkapkan, pada tahun 2012 tarif air minum diperkirakan akan mencapai Rp10.793 per meter kubik dari tarif yang sekarang Rp7.020 per meter kubik. Besaran tarif tersebut dihitung sesuai kontrak kesepakatan atau rebaising 2008 -2012. "Dengan kondisi kontrak seperti ini, kemungkinan tarif tahun 2012 tercapai Rp 10.793 per meter kubik ," katanya.
Firdaus mengatakan, apabila tarif terus meningkat di atas water charger tentu akan merugikan PAM Jaya karena harus nombok terus atau dikenal sebagai short fall. "Short fall ini terjadi, lantaran biaya produksi air sudah sama atau melebih tarif imbalan. Akibatnya selisihnya menjadi hutang kepada kedua operator," katanya. Imbal air atau water charge adalah nilai yang harus dibayarkan PAM Jaya kepada kedua mitra swastanya, Palyja dan Aetra. Uang ini sebagai imbalan yang diterima kedua operator swasta tersebut, lantaran telah mengolah air baku menjadi air bersih dan mendistribusikannya. Fauzan Hilal
Post Date : 05 Juni 2009
|