|
Memandang sampah bukan sekadar barang-barang bekas seharusnya dimulai dari rumah. Hal sederhana dimulai dengan memilah-milah antara sampah basah dan sampah kering sehingga sampah yang masih bisa dipakai bisa diambil pemulung atau dimanfaatkan sendiri tanpa perlu repot memisahkan lagi. Memilah sampah di sebagian kecil rumah tangga di Jakarta memang sudah diterapkan. Yang terbuang akhirnya hanya sampah basah seperti sisa-sisa sayuran, buah, atau daun-daun dari tanaman di sekitar rumah. Keinginan untuk bisa mengajak warga bisa memanfaatkan sampah mendorong Teti Suryati (45), warga RT 04 RW 05 Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur, gencar sosialisasi dari pintu ke pintu. Awalnya, sekadar memperkenalkan pemilahan sampah basah, sampah kering, serta sampah limbah berbahaya dan beracun. Dengan beragam ilmu yang diperolehnya saat terpilih menjadi instruktur lingkungan hidup untuk guru-guru se-DKI Jakarta di bawah naungan Western Java Environment Management Project (WJEMP) dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta sejak tahun 2005, Teti berusaha untuk mengajak warga bisa mengolah sampah menjadi barang lain yang bisa digunakan kembali. Impiannya sederhana, pengolahan sampah itu bisa dimulai dari rumah. "Sampah kering sudah biasa dimanfaatkan, tetapi yang sampah basah tetap dibuang begitu saja. Padahal, sampah jenis ini bisa dibuat jadi kompos. Namun, pembuatan kompos sering kali tidak menarik minat warga," kata ibu tiga anak ini. Menciptakan alat sederhana Dari ajakan itu, akhirnya tercipta belasan alat pembuatan kompos. Dengan memanfaatkan kaleng bekas cat berukuran 25 kilogram yang dicat atau digambar secara menarik, dibuatlah wadah untuk menampung sampah basah yang hendak diubah menjadi kompos. Di dalam kaleng yang dilubangi di bagian samping dan bawah itu diberi besi berjeruji yang memiliki putaran di luar. Dengan alat ini, warga yang membuat kompos tinggal memutar saja alat pemutar tanpa harus membuka tutup kaleng. Prinsipnya, tumpukan sampah dalam kaleng itu harus diaduk untuk mengurangi suhu tinggi. Oksigen juga harus leluasa untuk membantu fermentasi yang baik. Dengan demikian, sampah tidak bau. "Kaleng baru penuh sekitar tiga bulan. Sampah dapur setiap rumah kan sedikit sekali. Sisa-sisa sampah itu dipotong-potong, lalu dimasukkan ke kaleng," ujar Teti yang dikenal sebagai penggerak cinta lingkungan di RW-nya. Menurut Teti, pembuatan kompos bisa dilakukan secara tradisional atau dengan menambahkan mikroorganisme. Untuk rumah tangga yang menghasilkan sampah basah sekitar 0,5- 2 kilogram per hari, lebih baik memilih cara tradisional. Di bagian bawah kaleng diberi pasir setinggi 10 sentimeter. Di atasnya ditaruh sampah basah yang sudah dicacah. Untuk mengurangi bau bisa ditaburi tahi gergaji atau kompos yang sudah jadi. "Sampah kan jadi tidak terbuang percuma dan tidak memakan tempat. Jika pakai mikroorganisme, biasanya saya pakai EM4, dalam dua minggu sampah sudah jadi kompos," katanya. Ester L Napitupulu Post Date : 27 Juni 2006 |