Biaya Operasional Pompa Terus Ditekan

Sumber:Kompas - 27 Agustus 2008
Kategori:Air Minum

Yogyakarta, Kompas - Kajian neraca air tanah di karst Pegunungan Sewu, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, bisa memenuhi kebutuhan air bagi tiga juta jiwa. Air yang melimpah tersebut mampu memenuhi kebutuhan air bersih penduduk Provinsi DIY. Namun, pemanfaatan air sungai bawah tanah itu masih terkendala teknologi berbiaya operasional murah.

Teknologi pengangkatan air sungai bawah tanah Bribin lama berbiaya mahal karena menggunakan listrik. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Gunung Kidul pun merugi karena hasil penjualan air tidak mampu menutup biaya operasional. Terobosan penggunaan mikrohidro penggerak turbin di Bribin yang baru merupakan teknologi alternatif yang murah.

Teknologi mikrohidro pembangkit energi penggerak pompa air itu juga akan diterapkan di subsistem Seropan. Kincir akan dipasang di salah satu air terjun sungai bawah tanah Seropan. Teknologi mikrohidro ini akan menghemat biaya operasional yang sebelumnya menggunakan listrik. Tak seimbang

Energi penggerak pompa air di subsistem Baron juga akan diganti menggunakan pembangkit energi yang murah. Biaya listrik untuk tiga pompa diperkirakan mencapai Rp 70 juta per bulan. Pengeluaran itu tidak seimbang dengan penjualan air bersih ke masyarakat.

"Jualan air bersih seharusnya murah supaya bisa dijangkau oleh masyarakat. Karena itu, biaya operasional teknologi untuk menyedot air juga harus murah," tutur Tjahyo Nugroho Adji, pakar geohidrologi pada Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Selasa (26/8).

Ia menambahkan, jika biaya operasional mahal, pelayanan terhadap masyarakat tidak akan tercapai. PDAM pasti akan merugi sehingga pada akhirnya akan memacetkan pelayanan.

Kondisi seperti itu terjadi di jaringan air bersih Desa Giriasih, Purwosari, Gunung Kidul. Biaya langganan air Rp 10.000 per meter kubik karena biaya operasional pompa yang mahal. Pompa berkekuatan 12 liter per detik itu menggunakan listrik yang menghabiskan Rp 1,5 juta per bulan. Itu pun masyarakat harus mengambil sendiri air dari bak-bak penampung, dengan menggunakan jeriken. Jaringan pipa air belum sampai ke rumah-rumah.

"Biaya langganan air memang mahal karena operasional pompa mahal. Kami butuh teknologi murah untuk mengangkat air bawah tanah," ucap Pardiyana, Kepala Desa Giriasih.

Untuk menekan biaya operasional, lanjut Pardiyana, pompa hanya dihidupkan selama 12 jam. Sekarang, pompa hanya bisa dihidupkan maksimal empat jam karena sudah mulai rusak. Air bersih pun tidak bisa lagi dinikmati oleh sekitar 3.000 jiwa pelanggan.

Eko Subiantoro, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Gunung Kidul menilai, teknologi pembangkit energi yang murah akan meningkatkan pelayanan ke masyarakat. (ANG)



Post Date : 27 Agustus 2008