|
Bila Anda perempuan yang sering mengenakan rok, apa kekhawatiran Anda ketika melintas di jembatan penyeberangan di berbagai kota di Indonesia? Boleh jadi adalah rasa ketidaknyamanan. Itu pula ungkapan peserta orientasi dan lokakarya Metode Pengkajian Partisipatoris untuk Transformasi Sanitasi dan Kesehatan (MPA-PHAST) di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir Agustus 2006. Ketidaknyamanan bukan karena pencopet atau penodong. Apalagi pengemis. Namun, lebih pada bahaya "sorot mata". Pada diskusi awal, hal itu menjadi contoh apa yang disebut bias kepentingan dalam pembangunan infrastruktur publik. Pada contoh kasus jembatan penyeberangan, peserta diskusi menduga bahwa perancang dan pengambil keputusan pastilah didominasi lelaki. Pasalnya, penyeberang yang mengenakan rok kurang terakomodasi. Ketidaknyamanan hanya salah satu contoh yang umum dirasakan. Kesimpulannya, bias kepentingan harus dihindari. Diskusi menemukan dua bias kepentingan yang mungkin ditemukan pada pembangunan infrastruktur air bersih dan sanitasi. Masing-masing, bias kepentingan lelaki atau si kaya. Bias lelaki, di antaranya tidak mengakomodasi kepentingan ibu hamil, lanjut usia, atau anak-anak. Bias si kaya dapat berupa jalur yang lebih banyak terakses warga kaya dan mahalnya biaya pemeliharaan. Padahal, berdasarkan pemetaan kebutuhan, terungkap bahwa kaum perempuanlah yang jauh lebih sering mengakses fasilitas air bersih. Tetapi coba perhatikan, sejak musyawarah awal, perencanaan, pemilihan teknologi, hingga desain, hampir semua diputuskan kaum lelaki. Maka, tidak heran bila ditemukan kasus fasilitas air bersih di tepi parit dengan papan kayu sederhana sebagai penghubung. Mungkin Anda dengan mudah dapat melompat, tetapi bagaimana dengan ibu hamil, orang lanjut usia, atau ibu yang mengajak anak kecil? Kaya di depan Hasil orientasi peserta lokakarya MPA-PHAST di lapangan menunjukkan, peserta aktif diskusi adalah lelaki dan warga yang dikenal kaya. Sementara perempuan dan warga miskin pasif di belakang. Padahal, data dasar untuk pemetaan membutuhkan keterlibatan langsung dan aktif seluruh warga. Gagal memetakan kondisi sosial dan ekonomi warga, berarti gagal mencapai tujuan (baca: akses air bersih dan sanitasi warga miskin). Wujudnya, pascaproyek pembangunan infrastruktur warga miskin tetap sulit mengakses air bersih. Begitu pula kaum perempuan, tidak nyaman menggunakan fasilitas tersebut. Diakui oleh fasilitator, butuh energi dan waktu ekstra untuk pemetaan. "Juga butuh pendekatan yang tepat," kata Sugito, Ketua Tim Program Sanitasi dan Air Bersih untuk Masyarakat Miskin (WSLIC-2) Bank Dunia di NTB. Meskipun lama, prosedur tersebut tidak dapat ditawar. Itu harga mati! Seperti diungkapkan Ratna Indrawati dari program air dan sanitasi Bank Dunia, metode MPA-PHAST merupakan alat ampuh yang terbukti mampu menghindari atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya bias kepentingan. Diingatkannya, tujuan utama penerapan metode MPA-PHAST dalam proyek ini adalah akses komunitas berpenghasilan rendah. Tanpa metode yang tepat, bias kepentinganlah yang akan terjadi, seperti bahaya "sorot mata" di bawah jembatan penyeberangan itu.... (GSA) Post Date : 14 September 2006 |