Biarkan Sampah Menjadi Debu

Sumber:Majalah Gatra - 09 Januari 2008
Kategori:Sampah Jakarta
Penimbunan sampah seperti di Bantar Gebang, Bekasi, menimbulkan banyak masalah. Sampah perlu dibakar secara bersih di tempat penampungan pertama.

Suka menyebut diri tukang sampah yang bersahabat dengan kaum pemulung. Itulah Harry Suherman Tjondro, 50 tahun, Direktur PT Karta Raharja Putra, badan usaha yang bergerak di bidang penanganan limbah. ''Saya paling jengkel kalau melihat sampah yang ditumpuk sembarangan. Ada tanah nganggur sebentar, sampah ditumpuk di situ,'' katanya. Harry tak pernah merasa menyesal mengambil keputusan terjun di bidang yang tidak populer itu.

Kini hari-harinya diisi dengan kesibukan mengontrol penanganan tumpukan sampah dengan incenerator (instalasi pembakar limbah) di berbagai tempat, antara lain Apartemen Taman Rasuna (Jakarta Pusat), Perumahan Permata Buaran (Jakarta Timur), Metro Permata, Cileduk, dan ada pula di kota Jambi --mengurus sampah pasar. Ia juga melayani jasa konstruksi incenerator. ''Saya tak bilang untung besar, tapi usaha ini secara finansial sehat,'' ujar ayah tiga anak itu.

Bagi Harry, mengurus sampah bukan sekadar profesi. ''Saya ini terobsesi,'' kata insinyur mesin lulusan Universitas Trisakti, Jakarta, 1982, itu. Obsesi itu tak muncul tiba-tiba. Sejak kecil, si bungsu dari tujuh bersaudara itu dididik ketat dalam soal kebersihan. Namun, untuk terjun ke bidang langka itu tidak terbesit, sampai kemudian ia ditempatkan di pos penangan limbah di tempat ia bekerja: raksasa minyak Shell. Ia bertugas menangani urusan kesehatan, keselamatan, dan lingkungan.

''Di sana saya menjalani berbagai training tentang penanganan limbah,'' tutur ayah tiga anak itu. Ketika menjalani pekerjaan itu, ia mengaku mendapat kepuasan setiap kali berhasil memberesi limbah yang menggunung. Ia pun tergoda untuk membuka usaha sendiri, satu hal yang juga menjadi obsesi lainnya. ''Punya usaha sendiri itu artinya menjadi orang merdeka,'' ujarnya sambil tertawa. Apalagi, ia melihat, mestinya di daerah seramai seperti Jakarta dan sekitarnya, timbunan sampah bisa mendatangkan peluang usaha.

Harry lantas meminta izin istrinya, yang kebetulan juga profesional di bidang minyak dan gas. Istrinya setuju. Maka, ditinggalkanlah pekerjaan yang memberi ia gaji US$ 10.000 per bulan itu. ''Saya bilang, bismillah saya akan menggauli urusan sampah,'' katanya. Maka, sejak 15 tahun lalu, ia terjun total dalam usaha ini. ''Seperti bidang lainnya, usaha ini juga mengalami pasang surut,'' Harry menuturkan.

Toh, sesial-sialnya, ia masih bisa menghidupi keluarganya secara layak, tanpa bergantung pada sang istri. ''Pokoknya, kebutuhan rumah tangga itu urusan saya. Soal penghasilan istri, silakan dipakai semau dia. Mau beli lipstik sekarung juga boleh,'' ujarnya sambil terkekeh-kekeh.

Dalam menjalankan usahanya, Harry fokus pada limbah perkotaan dan rumah tangga, bukan limbah industri. Menurut Harry, volume limbah perkotaan itu luar biasa besarnya. Jakarta menghasilkan hampir 6.500 ton sampah per hari. Cara landfill seperti di Bantar Gebang, Bekasi, yang menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) bagi sampah Jakarta, tak realistis. Teknik landfill, katanya, memerlukan syarat pengurukan tanah untuk setiap lapis sampah mencapai ketebalan tertertu. ''Tanahnya dari mana? Nyatanya, sampah di TPA kini ditumpuk saja, tak diuruk,'' ia menambahkan.

Penumpukan sampah itu mendatangkan masalah berantai. Mulai bau menyengat yang merebak ke mana-mana, pencemaran air tanah, hingga akumulasi gas metana dari hasil dekomposisi sampah organik yang tak sehat.

Tumpukan gas metana itu tidak saja dapat menimbulkan ledakan, musibah yang menyebabkan longsornya gunungan sampah yang menelam korban seperti terjadi di Leuwigajah, Bandung, pada 2005. Pun saat ini, emisi metana mendapat sorotan tajam terkait isu pemanasan global. Dalam hal membangkitkan efek panas, metana lebih jahat ketimbang karbon dioksida (CO2).

Untuk kota sepadat Jakarta, pengangkutan sampah ke TPA juga bukan urusan mudah. Rata-rata, setiap unit truk sampah hanya bisa menjalani 1,6 rit sehari untuk memboyong sampah ke TPA, karena lalu lintas hampir selalu macet. Biaya angkut pun membengkak. ''Masalah lainnya, kalau nanti Bantar Gebang itu penuh, sampah mau dibawa ke mana?'' ucapnya.

Bagi Harry, kunci penanganan sampah perkotaan adalah pemusnahan dan daur ulang. Penangannya pun tidak bisa lagi terlalu jauh dari sumber sampahnya. Maka, yang ia tawarkan kepada klien adalah incenerator, instalasi pengolah sampah yang disebutnya ramah lingkungan. ''Bersih, tidak bising, dan tidak bau,'' peraih MBA dari Asian Institute of Management, Manila, itu berpromosi.

Harry mengoperasikan incenerator hasil desain sendiri. Selama bekerja di Shell, katanya, dia sempat membongkar-pasang incerenator pelbagai tipe dan merek. ''Saya adaptasikan yang paling pas dengan kondisi kita,'' ujarnya. Instalasi ini juga tak menuntut lahan yang luas. Untuk menangani sampah sampai 100 meter kubik per hari, yang dihasilkan oleh sekitar 3.500 rumah tangga, hanya diperlukan lahan 600 meter persegi --termasuk tempat penampungan sementara. ''Lahan itu bisa diambil dari jatah fasum (fasilitas umum),'' katanya.

Biayanya, tutur Harry, relatif murah. ''Untuk kompleks dengan 1.000-2.000 unit rumah, dengan volume sampah 60-80 meter kubik sehari, iuran sampah warga Rp 75.000-Rp 100.000 per bulan sudah cukup,'' tuturnya. Biaya itu, katanya pula, tidak besar untuk ukuran rata-rata penghuni perumahan kelas menengah-atas. ''Sekali jalan-jalan ke mal, berapa yang mereka keluarkan,'' ujarnya. Dengan manajemen yang ia tawarnya, Harry menjamin, lingkungan akan bersih.

Dalam pengoperasian incenerator-nya, Harry bekerja sama dengan pemulung. Mereka yang menyortir benda-benda yang bisa didaur ulang, seperti plastik, logam, kaca, kaleng, atau benda yang masih punya nilai ekonomi. Yang tak berguna diproses, dikeringkan. ''Setelah cukup kering, dimasukkan ke incenerator untuk dibakar,'' kata Harry, yang juga menjadi agen perkakas pengolah sampah (sementara) untuk rumah tangga.

Pembakaran dilakukan dalam dua tahap. Pada tungku utama, sampah dibakar dengan suhu 800 hingga 1.400 derajat celsius berkat semburan minyak tanah. Semuanya hancur menjadi abu. Tekanan tinggi membawa partikel-partikel itu ke tungku kedua. Di situ dibakar lagi dengan suhu tinggi untuk memastikan segalanya hancur total.

Sebelum naik ke cerobong, disemburkanlah air. Selain untuk mendinginkan, air berguna pula untuk melarutkan debu dan asap. Di cerobong, dipasang pula filter untuk mencegah asap lolos ke udara. ''Hasilnya akhirnya debu arang. Beratnya tinggal 2%-3%,'' kata Harry. Debu itu cocok untuk campuran batako.

Gas buang dari cerobong incenerator itu dijamin tak mencemari lingkungan. Ia menyodorkan sertifikat hasil pengujian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) atas incenerator-nya. Di situ ditunjukkan bahwa emisi SO2 (sulfur dioksida) dari incenerator Harry sebesar 28 mg per meter kubik. Jauh di bawah ambang batas yang 250 mg. Untuk oksida-nitrogen dan partikel, emisinya 93 mg dan 21 mg, masih jauh di bawah ambang baku mutu yang ditetapkan pemerintah, yakni 300 mg dan 50 mg.

Tapi, bagaimana dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim, bukankah incenerator itu penghasil CO2, gas yang meningkatkan suhu atmosfer bumi? ''Wah, urusannya sebatas dengan pemerintah. Menurut regulasi yang berlaku di Indonesia sini, incenerator laik beroperasi karena sangat menenuhi standar baku mutu,'' kata Harry. Terkait dengan isu global warming ini pula, Harry justru mengklaim ikut membantu pencegahannya. ''Bukankah incenerator ini menghilangkan emisi gas metan?'' ia balik bertanya.

Bagi Harry, kalau semua tempat yang mengemisikan CO2 dipersoalkan, bagaimana dengan mobil-mobil, pabrik-pabrik, bahkan kompor-kompor di rumah warga yang semuanya juga mengemisikan CO2. Toh, Harry tak menolak jika ada pihak yang memintanya menangani sampah sekaligus menekan emisi CO2-nya. ''Itu hanya soal pilihan teknologi,'' katanya. Hanya, ia mengingatkan, penerapan teknologi carbon capture itu tentu makan biaya operasional lebih besar.

Toh, pengamat perubahan iklim, Dr. Rizaldi Boer, mengatakan bahwa para pengusaha tidak perlu buru-buru cemas atas isu pemanasan global. Yang penting, katanya, patuhi saja regulasi pemerintah tentang pencemaran. ''Soal isu pengurangan emisi, itu urusan jangka panjang,'' kata pakar meteorologi pertanian dari Institut Pertanian Bogor itu. Apalagi, sesuai dengan Protokol Kyoto, Indonesia tidak termasuk negara yang dikenai kewajiban menurunkan emisi.Putut Trihusodo



Post Date : 09 Januari 2008