|
Sungai Cisadane merupakan salah satu sumber daya alam bagi Tangerang. Untuk memenuhi kebutuhan air, warga di sana sangat bergantung kepada sungai yang mengalir melalui Kota dan Kabupaten Tangerang. Air dari Cisadane, hingga kini, menjadi air baku untuk diolah oleh dua perusahaan PDAM yakni Tirta Rahardja milik Pemda Kabupaten Tangerang dan Tirta Benteng milik Pemerintah Kota Tangerang. Setelah diolah, air bersih tersebut tidak hanya untuk masyarakat Tangerang, tapi juga disuplai ke Jakarta. Cisadane juga menjadi sumber air bagi ribuan petani, ratusan perusahaan besar yang beroperasi di Tangerang. Tetapi sungai yang bersumber di wilayah Bogor, Jawa Barat ini belum terjaga sepenuhnya. Ada di wilayah tertentu, yang merupakan kawasan industri, mencemari Cisadane. Saking tinggi kadar pencemarannya, membuat kualitas air merosot tajam. Karena PDAM di sana cuma mengandalkan Cisadane, mau tak mau PDAM harus bekerja ekstra keras untuk mengolahnya menjadi air baku. Belum lagi limbah rumah tangga yang makin membuat air Cisadane semakin tidak karuan kualitasnya. Sayangnya para pencemar ini belum ada yang ditindak tegas atau diseret ke meja hijau. Persoalan krusial muncul jika kemarau tiba. Debitnya merosot tajam dan menyebabkan persediaan bahan baku menjadi berkurang bahkan kritis. Akibatnya suplai air bersih kepada sebagian pelanggan harus digilir. Yang didapat belum tentu air bersih, sebab kadang kali air berwarna keruh dan berbau. Merosotnya debit Sungai Cisadane, setiap kemarau, karena pendangkalan yang sangat parah. Apalagi sudah puluhan tahun sungai ini tidak pernah dikeruk. Pemantauan Pembaruan, dasar sungai Cisadane tidak jarang terlihat ke permukaan terutama jika musim kemarau. Bahkan data yang diperoleh, pendangkalan sudah mencapai ketinggian belasan meter di sepanjang badan sungai sejauh 60 kilometer (km). Pemerintah pusat sendiri merencanakan merevitalisasi Danau Karyan di Lebak untuk bisa menampung aliran sungai ini. Namun apakah mungkin pada musim kemarau air Cisadane lancar mengalir ke danau itu, sebab pendangkalan sungai sudah begitu tinggi. Menurut Direktur umum PDAM Tirta Benteng, Muharram, 90 persen air yang mengalir di sungai Cisadane terbuang ke laut karena badan sungai tidak bisa lagi menampung aliran air. Bahkan jika air turun satu meter saja, sediment laut sudah terlihat jelas. Menurut Muharram, level ketinggian terendah sungai sepanjang lima tahun terakhir berada pada posisi memprihatinkan. Biasanya setiap tahun musim kemarau ketinggian minimun 11 meter, tetapi pada tahun ini 10.75 meter. Pemkot Tangerang sendiri sudah membentuk tim pengkaji air baku sungai Cisadane. Tim ini terdiri dari beberapa instansi terkait di mana PDAM berada di dalamnya. Diharapkan bila sudah terbentuk, pada tahun-tahun mendatang ada kebijakan yang dapat mengatasi masalah krisis air. Bila kondisi normal, air Cisadane berada pada posisi 12,45 meter di atas permukaan laut (dpl), tetapi pada saat kritis bisa di bawah angka 10 meter. Pada saat ini kebutuhan air masyarakat dipastikan terganggu. Menurut Kepala Pengendali Sumber Daya Air (PSDA) Cidurian Cisadane, Djoko Suryanto, jika debit merosot bukan hanya berdampak pada petani tidak mendapat air tetapi juga persediaan air bersih PDAM Kota dan Kabupaten Tangerang. Sungai Cisadane dalam kondisi normal mempunyai debit 60 meter kubik/detik dengan tinggi permukaan 12,45 meter. Namun ketika debit turun pada level 11,3 meter, Sungai Cisadane sudah tidak bisa lagi mengisi saluran irigasi dan mengairi 24 ribu hektar sawah di kota dan Kabupaten Tangerang. Hanya lahan persawahan yang dekat dengan bendungan saja yang masih bisa diairi. Fluktuasi debit dan tinggi permukaan Cisadane, menurut dia, memang selalu mengalami perubahan yang tidak menentu. Pada akhir Juli lalu, debit dan permukaan sudah masuk ambang kritis dengan penyusutan hingga 20 persen. Namun awal Agustus lalu debit naik hingga 65 meter kubik/detik setelah mendapat kiriman dari Bogor. Djoko mengungkapkan, dari 60 meter kubik sungai Cisadane, hampir 40 persennya digunakan untuk kebutuhan air bersih masyarakat di Tangerang dan sekitarnya. Selain pendangkalan, kebutuhan air di Tangerang juga terganggu dengan bocornya sejumlah pintu air di Bendungan Pintu Air Sepuluh. Kerusakan itu sudah berlangsung lama tetapi tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan bendungan tersebut. Tak jarang untuk bisa menahan air digunakan batang pisang. Bahkan kebocoran ini juga menyebabkan sejumlah hewan ternak seperti sapi dan terperangkap dan mati di dalam intake sebagai tempat penampungan air sebelum diolah. [Pembaruan/Dewi Gustiana] Post Date : 02 Oktober 2006 |