Banjir air pasang laut atau biasa disebut rob sudah menjadi bencana rutin di wilayah pesisir Jakarta. Warga pesisir korban rob harus merugi karena tidak bisa melaut, tambak-tambak hancur tergulung gelombang, dan kehidupan sosial lumpuh karena semua akses terputus.
”Rob sebenarnya selalu datang sejak kakek nenek saya dulu melaut di sini. Bedanya, dulu ada tanggul-tanggul alam di Teluk Jakarta ini, yang disebut beting. Jumlah beting mungkin sampai belasan atau puluhan, bentuknya berupa gundukan pasir memanjang muncul di pantai atau tengah laut,” kata Gobang (48), nelayan warga Marunda Baru, RT 9 RW 7, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (7/11).
Sekretaris Nasional Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dedy Ramanta menambahkan, selain beting, hutan bakau juga masih rimbun melindungi pantai. Sabuk pengaman alam itu perlahan terkikis ketika pasir beting banyak dikeruk untuk bahan urukan saat pemerintah giat membangun jalan-jalan baru sepanjang tahun 1980-an.
Gobang, yang menjadi nelayan meneruskan ayahnya, mengaku melihat sendiri mesin-mesin penyedot pasir yang terhubung pada kapal-kapal pengeruk makin banyak beroperasi hingga 1990-an. ”Sekarang, kalau kita pergi melaut, masih terlihat juga kapal-kapal pengeruk pasir itu,” ujar Gobang.
Pasir dari beting-beting Teluk Jakarta, lanjut Dedy, ini diduga menjadi salah satu bahan urukan proyek pembangunan di sepanjang bibir pantai Jakarta. Saat ini, bibir pantai Jakarta sepanjang 32 kilometer telah dikapling-kapling dan dikelola oleh pihak tertentu.
Beberapa penggunaan kawasan pantai itu, antara lain, adalah untuk pengembangan tempat wisata Pantai Ancol, Pelabuhan Tanjung Priok, pengembangan permukiman, kawasan industri di Cakung-Cilincing, dan beberapa pusat bisnis. Kini, hanya tersisa 1,5 kilometer di kawasan Marunda yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh rakyat secara gratis.
Ironisnya, kata Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, secuil pantai publik itu pun nanti akan diprivatisasi menjadi proyek Kawasan Ekonomi Khusus Marunda. Nasib nelayan tradisional Ibu kota, seperti Gobang dan juga ratusan orang lainnya yang mencoba bertahan hidup, terselip di antara kapling-kapling pantai itu.
Gobang dan nelayan Marunda yang sedikitnya tersebar mulai dari RT 1 hingga RT 9 di RW 7, Marunda Baru, Cilincing, kini harus menjalankan perahunya sejauh tiga jam perjalanan. Padahal, sekitar 15 tahun yang lalu, Gobang melaut bersama ayahnya hanya 10 menit perjalanan dan ikan-ikan sudah gampang di dapat.
”Kondisi lingkungan Teluk Jakarta makin parah dengan banyaknya limbah rumah tangga ataupun industri yang mengalir dari 13 sungai dan berakhir di pantai ini,” kata Direktur Lingkungan Hidup Institut Hijau Indonesia (IHI) Selamet Daroyni.
Nelayan pesisir pantai Jakarta kini tersebar di beberapa wilayah. Di Jakarta Barat, mulai dari kawasan yang berbatasan dengan Tangerang di Banten, Dadap, dan Kamal Muara. Di Jakarta Utara, seperti di Cilincing hingga perbatasan dengan Bekasi di Muara Gembong.
Ribuan nelayan ini, sesuai data KNTI, rata-rata berpendapatan kurang dari Rp 50.000 per hari per kepala keluarga, tingkat pendidikan rendah, dan kesehatan buruk. Nasib mereka makin terpuruk ketika rob selalu menerjang setiap tahun.
Revisi tata pesisir
Bagaimana rob tiba-tiba bisa menggenangi kawasan pantai Jakarta? Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan, fenomena rob dipengaruhi gravitasi bulan. Muka air laut disebutkan akan rutin mengalami kenaikan dua kali sebulan ketika bulan baru dan bulan purnama.
Selamet Daroyni menambahkan, kenaikan muka air laut diperparah dengan terjadinya pemanasan global dan pencairan air di kutub bumi. ”Selain itu, dipengaruhi oleh kondisi arus gelombang dan angin laut, terutama yang terjadi di Laut China Selatan. Rob tidak pernah dipastikan kapan terjadinya, hanya peringatan dini. Namun, dari pengamatan nelayan sendiri, rob terjadi antara November hingga Januari,” papar Selamet.
Rob makin bebas menerjang ketika tak ada lagi sabuk pengaman pantai alami. Rob hanyalah satu fenomena alam yang kini berdaya rusak karena buruknya kondisi lingkungan akibat kebijakan pembangunan yang tidak tepat. Menurut Abdul Halim, masyarakat nelayan pesisir Jakarta telah berupaya semaksimal mungkin beradaptasi dengan banjir rob. Namun, pemerintah justru tak berbuat selaras dengan upaya itu.
”Dalam paparan program 100 hari kabinet baru, agenda perubahan iklim dan lingkungan hidup menjadi prioritas ke-11 dan 15. Agenda penanggulangan bencana prioritas ke-14 sehingga menjadikan masyarakat sebagai penerima beban lingkungan dan sosial yang lebih berat selama 5 tahun ke depan,” kata Abdul.
Padahal, kata Abdul, dampak perubahan iklim menempatkan Jakarta sebagai kota yang rentan bencana dibandingkan dengan kota lain di Asia Tenggara.
Pada akhirnya, ujar Selamet, evaluasi tata ruang wilayah DKI Jakarta untuk menentukan rencana tata ruang wilayah DKI 2030. Pemprov harus menempatkan fokus penataan ruang pesisir. Pantai dan pesisir jika ditata dan diolah dengan baik bisa menyumbang penambahan luas ruang terbuka hijau yang kini menjadi masalah besar bagi Jakarta.
”Jika tak segera dilakukan, kenaikan paras muka laut akan membanjiri daerah Jakarta seluas lebih kurang 160,4 kilometer persegi atau 24,3 persen dari luas Jakarta pada 2050. Pada tahun itu, akan terjadi akumulasi banjir akibat curah hujan dan kenaikan paras muka laut.
Lima kecamatan di Jakarta Utara bakal terendam banjir, yakni Cilincing, Koja, Tanjung Priok, Pademangan, dan Penjaringan. Dua obyek penting yang ikut terendam adalah Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok,” kata Abdul Halim. (NELI TRIANA/M CLARA WRESTI)
Post Date : 09 November 2009
|