|
Apakah banjir yang menimpa Jakarta dan daerah-daerah lain sepanjang bulan Februari ini semata-mata karena alam ataukah manusia dapat mencegahnya? Bila manusia dapat mencegahnya, apakah yang dapat dilakukan warga kota untuk mencegah bencana tersebut? "Hampir semua bagian di Indonesia punya budaya membuang sampah ke sungai atau ke laut. Mungkin hanya Bali yang melihat sungai, air tepatnya, sebagai sesuatu yang suci," tutur Arimbi Heroepoetri, anggota Kaukus Lingkungan Jakarta yang juga komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan. Sampah menjadi salah satu ulah manusia yang menyebabkan banjir. Mungkin orang tidak percaya bahwa sampah dapat menyebabkan banjir kecuali bila tinggal di tepi sungai dan menyaksikan bagaimana sampah membuat aliran sungai terhambat dan ketika datang hujan besar air pun meluber ke tepian sungai. "Hujan enggak besar, tetapi Jumat (16/2) sampai Minggunya rumah kami kembali kebanjiran. Sampah ikut menyebabkan sungai tidak lancar mengalir dan membuat sungai jadi sempit," tutur Ny Jumenti (51), warga RT 6 RW 12, Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Rumah anggota Program Pembinaan Keluarga dan pengurus di Suara Ibu Peduli (SIP) ini memang tidak jauh dari tepian Sungai Krukut. Sebagai pengurus dan anggota SIP yang pernah mendapat pelatihan mengenai lingkungan dari sebuah lembaga swadaya masyarakat, Jumenti sejak 2001 tidak pernah bosan mengingatkan para ibu di dalam keanggotaan SIP, di PKK, maupun di kelompok arisan yang dia ikuti untuk tidak membuang sampah ke sungai. Dia juga berkepentingan sungai tidak dicemari sampah, apalagi sampah yang tidak dapat diurai alamiah oleh lingkungan, seperti plastik. "Meski begitu, tetap saja buang sampah di kali. Kalau saya lihat saya tegur. Pernah ada satu bapak yang buang sampah ke kali saya tegur, dia minta maaf, malu dan enggak pernah lagi buang ke kali. Tetapi, kalau ibu-ibu agak bandel. Kalau ada saya malu, tetapi buangnya jadi malam atau sebelum subuh," ujar Jumenti. "Saya sudah ingatkan untuk jangan buang sampah ke kali, apalagi ketika sungai lagi kering." Pemelihara kehidupan Perempuan adalah makhluk yang melahirkan dan kemudian memelihara kehidupan itu sendiri. Memelihara kehidupan adalah bagian dari kebutuhan praktis sehari-hari. Tidak mengherankan bila urusan kebersihan di tingkat rumah tangga kebanyakan menjadi tugas perempuan. Yang menjadi masalah adalah ketika sampah rumah tangga tersebut dibuang begitu saja. "Mereka membuang sampah ke sungai itu kan juga karena ingin rumahnya bersih," kata Arimbi. Untuk Jumenti, dia sangat berkepentingan dengan kebersihan sungai, sebab dia akan sangat merasakan bila Sungai Krukut di dekat rumahnya meluap. "Masih mending kalau yang dibuang itu sampah basah (limbah dapur) yang bisa dimakan ikan. Ini yang dibuang juga dengan kantong plastiknya. Kantong plastik kan enggak bisa hancur," kata ibu tiga anak yang sudah besar-besar ini dan mengambil risiko digunjingkan sebagai "ibu galak". Di antara warga sebetulnya sudah ada kesepakatan membayar iuran Rp 10.000 per bulan per rumah tangga sebagai biaya pengangkutan sampah, tetapi tidak semua rumah tangga mau ikut iuran dan memilih membuang sampahnya ke sungai. Banjir tahun 2002 sebetulnya memberi pelajaran berharga untuk warga Jakarta, terutama yang tinggal di bantaran kali. Sayangnya, ingatan kita sering kali pendek. Empat tahun berlalu sebelum tahun ini pada Jumat (2/2) lalu banjir besar kembali menggenangi Jakarta. Upaya mengolah limbah rumah tangga dengan cara membuat kompos pernah dicoba, tetapi tidak berlanjut. "Saya juga pernah dapat pelatihan bikin kompos, saya juga ajak ibu-ibu, tetapi belum berhasil," kata Jumenti. Kelurahan juga membuat aturan yang memberi sanksi kepada warga yang membuang sampah sembarangan. Meski aturan itu tetap berlaku dan ada laporan dari warga, aturan itu tidak pernah diterapkan. Intervensi Dalam pengalaman Arimbi bersama kelompok lingkungannya, memang tidak mudah mengubah perilaku masyarakat terhadap sampah. Menurut dia, perlu intervensi kepada individu di tingkat rumah tangga dalam memberi pemahaman makro tentang permasalahan sampah, lalu mengaitkannya dengan kegiatan di tingkat rumah tangga dan RT/RW. Intervensi ini dapat dilakukan pemerintah dan lembaga masyarakat bersama-sama. Arimbi meyakini perempuan memiliki kebutuhan untuk hidup bersih. "Buang sampah ke sungai itu kan supaya rumahnya bersih tidak ada sampah," katanya. Dia mencoba mengaitkan kebutuhan akan kebersihan ini dengan konsep bukan membuang sampah, tetapi mendaur ulang sampah meskipun dia akui keberhasilan di tingkat warga masih rendah. Perempuan dapat sangat berperan sebagai agen perubahan sosial di tingkat akar rumput, termasuk dalam mengelola sampah. Hanya saja untuk dapat berperan sebagai agen perubahan, perempuan sendiri harus berdaya. Berdaya di sini dalam arti luas. Punya kemandirian secara ekonomi dapat menjadi alat yang sangat menolong perempuan untuk membuatnya mampu mengeluarkan pendapat. Pendidikan formal maupun informal juga amat penting agar dapat menghubungkan perilaku individu yang dilakukan secara bersama-sama dengan dampak yang muncul pada masyarakat. Membuang sampah, misalnya, bila dilakukan satu orang dari satu rumah tangga mungkin dampaknya tidak terlalu merugikan lingkungan, tetapi bila itu menjadi perilaku bersama hasilnya adalah banjir. Perubahan perilaku itu bukan sesuatu yang mustahil. Beberapa ibu rumah tangga di dalam rukun warga Ny Jumenti yang tinggal tepat di bibir sungai tidak lagi membuang kantong plastik belanja mereka. Kantong itu mereka lipat rapi dan simpan untuk kemudian mereka bawa ke warung dan ditukarkan dengan cabai atau tomat. Menanggulangi sampah di tingkat rumah tangga yang rasional salah satunya adalah dengan mendaur ulang sampah-sampah yang mudah terurai oleh lingkungan, seperti sampah dari sayuran. Sedangkan sampah yang sulit terurai, seperti plastik, dapat dikumpulkan bersama dan dijual lagi. "Uang penjualan itu sebaiknya dipakai sebagai dana kas kampung dan dipakai, misalnya, untuk membantu bila ada warga yang sakit atau meninggal," kata Arimbi. Di tingkat makro, pemerintah tentu saja harus berkoordinasi menanggulangi kerusakan di sepanjang daerah aliran sungai yang melalui tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Ninuk Mardiana Pambudy Post Date : 26 Februari 2007 |