Bertahan di Bantaran dengan Logika Perut

Sumber:Kompas - 03 Maret 2010
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Kebutuhan ekonomi menjadi alasan ribuan warga untuk bertahan di Kampung Cieunteung, Kelurahan Baleendah, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Logika perut membuat mereka tetap ingin tinggal di bantaran Sungai Citarum meskipun banjir setiap tahun mendera.

Mamat (44), warga RT 4 RW 20, Kampung Cieunteung, yang mengungsi di Gedung Juang 45, Kelurahan Baleendah, misalnya, tetap berniat kembali ke rumahnya jika banjir surut. Saat ini air bah setinggi 2 meter masih merendam rumah beserta harta bendanya. Mamat harus merelakan mesin jahit listrik satu-satunya terendam banjir sejak akhir Desember 2009.

”Saya sebenarnya tidak betah, tetapi harus bagaimana lagi sebab hanya di sini saya bisa mencari uang,” kata Mamat, yang sehari-hari menerima pesanan jahitan dari perusahaan konveksi dan pabrik garmen, Selasa (2/3) di Bandung.

Mamat pernah mencoba tinggal di rumah istrinya di Talegong, Kabupaten Garut. Namun, ia hanya bertahan tiga bulan. Mamat tidak memiliki keahlian selain menjahit. Pesanan jahitan dari perusahaan tekstil dan garmen yang selama ini menghidupi diri dan keluarganya.

Ketua RW 20 Jaja (43) menuturkan, hanya 10 persen dari 1.033 warga Kampung Cieunteung yang memiliki sertifikat atau izin mendirikan bangunan (IMB). Umumnya warga hanya berbekal kikitir (surat tanah) peninggalan orangtuanya.

Rumah warga juga dibangun tidak sesuai dengan Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rumah warga dibangun pada jarak 5 meter sampai 10 meter dari bibir sungai. Padahal, UU itu menyebutkan, sempadan sungai adalah daerah yang berjarak 60-100 meter dari bibir sungai. Sempadan sungai seharusnya merupakan kawasan lindung yang tidak boleh ditempati.

Pada tahun 1987, warga Cieunteung pernah direlokasi ke Kelurahan Manggahang yang berjarak sekitar 3 kilometer dari kampung mereka. Namun, kurang dari enam bulan, warga kembali ke Cieunteung. ”Rumah-rumah di Manggahang yang dulu ditinggali warga sewaktu relokasi juga sudah banyak dijual,” kata Jaja, yang merasakan relokasi itu pada masa kecilnya.

Enggan pindah


Warga enggan meninggalkan kampung itu karena 60 persen warga menggantungkan hidupnya pada pabrik tekstil dan garmen di Dayeuhkolot yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Cieunteung.

Menghadapi banjir yang makin besar tahun ini, wacana relokasi ditanggapi dingin oleh warga. Aparat kelurahan bahkan menginginkan agar pemerintah meninggikan tanggul dan melakukan pengurukan di permukiman warga. ”Kami yang tinggal di sini adalah korban kerusakan lingkungan di hulu. Kenapa kami yang diminta pergi,” kata Sutrisna, Pejabat Sementara Lurah Baleendah.

Dalam rekomendasi penyelesaian masalah banjir yang diajukan kepada pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyebutkan perlunya relokasi permukiman dan industri di Baleendah dan Dayeuhkolot.

Kepala Bidang Rekayasa Teknis Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jawa Barat Suardi Natasaputra menyatakan, rencananya Cieunteung dijadikan kolam air bagi limpasan Citarum. Daerah itu tidak bisa terhindar dari banjir dan tidak layak huni. Biaya revitalisasi permukiman di bantaran sungai dianggarkan Rp 55 miliar.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum Mudjiadi menuturkan, mengelola sungai harus mempertimbangkan faktor manusia yang tinggal di bantaran sungai.

Upaya relokasi bagi warga Cieunteung tampaknya masih harus melewati jalan panjang. Ini adalah pekerjaan rumah besar bagi semua pihak dalam mendamaikan konsep kelestarian lingkungan dan logika perut warga. (REK/ELD)



Post Date : 03 Maret 2010