|
Alih fungsi lahan pertanian ke permukiman dan niaga, serta perkembangan industri, seperti pariwisata yang menyedot tenaga kerja usia muda, terus mengancam kelestarian subak secara fisik maupun kultural di Pulau Bali. Akankah harta warisan abad ke-8 Masehi ini benar-benar musnah dari Pulau Dewata? Di sejumlah tempat di Bali, hamparan sawah atau lahan subak yang menyajikan keelokan panorama sudah menjadi sebuah romantisme getir karena sudah sulit ditemukan lagi. Menyakitkan untuk dikenang, dibalut rasa keterpurukan karena tidak mampu mencegahnya terjadi. Contoh paling klasik adalah eksistensi Subak Muwa di pusat kota Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, yang sering menjadi kasus penelitian para ahli irigasi dunia. Subak Muwa di Ubud adalah sebuah kasus di mana artefak lahan sawahnya dengan cepat menyempit dari 40 hektar menjadi empat hektar dalam waktu kurang dari 10 tahun. Sementara Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali mencatat, areal subak di Bali susut sekitar 700 hingga 1.000 hektar per tahun. Saat ini subak berjumlah 1.612 lokasi dengan areal cakupannya seluas 82.095 hektar. Pada tahun 1997 jumlah subak masih sekitar 3.000 unit dengan hamparan seluas 87.850 hektar. Berkurangnya jumlah dan areal subak ini akibat peralihan fungsi lahan produktif. Pemicunya, desakan pembangunan dan tergiurnya petani atas nilai jual tanah yang semakin membubung di sejumlah tempat di Bali. Dampak dari peralihan lahan itu terlihat pada hasil panen padi menurun. Tahun 2004, hasil panenan padi di Pulau Dewata sebanyak 780.882 ton. Padahal, pada 2000 hasil panenan mencapai 850.225 ton. Hal itu sangat ironis sebab dengan sistem subak yang ketat, petani di Bali pernah mampu mengatrol produksi pertanian pada era 90-an. Produksi padi melesat dari 511.495 ton gabah kering giling pada 1973 menjadi 906.328 ton sekitar 17 tahun berikutnya. Dan, surplus (swasembada) beras telah dicapai Bali pada tahun 1984 (dengan prediksi 100.608 ton) dan mencapai puncaknya tiga tahun kemudian dengan angka 107.664 ton. Desa Jatiluwih Subak merupakan sistem dan organisasi pengairan sawah di Bali yang unik dan khas. Teknik pengairannya memanfaatkan air sungai atau bendungan buatan, sedangkan pengaturannya dikelola oleh masyarakat secara kekeluargaan dan religius. Mungkin saat ini subak yang masih relatif utuh dan dapat disaksikan adalah di Desa Jati Luwih, Penebel, Tabanan, 50 kilometer arah utara Denpasar. Karena keaslian serta sebagai upaya agar kawasan itu tidak rusak seperti daerah lain, Desa Jatiluwih telah diusulkan ke PBB sebagai calon warisan budaya dunia (the world cultural heritage). Kawasan di Selemadeg hingga Pekutatan di Kabupaten Tabanan maupun di Tegallalang, Ubud, Gianyar, sesungguhnya mempunyai subak-subak dengan pemandangan yang tak kalah memesona. Sayang, panorama indah di kawasan itu telah banyak tertutup atau berganti dengan aneka bangunan. Semua itu diyakini hanya akan menjadi bagian dari romantisme masa lalu dalam waktu yang tidak lama lagi. Tidak ada salahnya jika Anda berkunjung ke kawasan itu, minimal menjadi saksi sejarah akan kekalahan alam pada kerakusan manusia bermodal.(BENNY DWI KOESTANTO) Post Date : 11 Desember 2007 |