|
Kebutuhan akan air bersih nyaris sama nilainya dengan emas bagi warga Dusun Duduk Bawak, Desa Batu Layar, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. ”Wayen, dait tendengin aik secangkir, serian te bebeng beras mane-manen seregem, (ibaratnya, ketimbang diminta air, lebih baik kami berikan beras walau hanya segenggam,” kata Mahir (55), warga dusun yang berpenduduk 61 keluarga itu. Guna memperkuat komentarnya, Mahir menunjuk belahan bambu, maupun pelepah pohon pinang yang dipasang pada pinggiran atap rumah menuju bibir sumur gali. Belahan bambu dan pelepah pohon pinang itu berfungsi sebagai saluran air ke penampung saat musim hujan. Ditunjukkan pula gentong tanah milik warga dusun itu. Lubang pancuran gentong dibuat seukuran pipa sedotan air mineral kemasan, katanya untuk meminimalkan pemakaian air. Itu dilakukan mengingat air dalam gentong diambil dari sumber air, berjalan kaki menelusuri jalan setapak, naik turun perbukitan. Karena memerlukan tenaga ekstra untuk mendapatkan air, ”Anak-anak umumnya mandi sekali sehari, pagi saja, kadang pergi sekolah ndak mandi,” kata Mahir yang salah satu cucunya saat musim kemarau acapkali ”bolos” sekolah beberapa hari guna membantunya memburu air. Rupanya kebutuhan akan air itu, selain menumbuhkan tekad keswadayaan, juga menimbulkan kesadaran bersama bahwa kesulitan air bisa teratasi jika ada kemauan keras. Awal tahun 2006, sejumlah warga dusun itu sepakat urunan membeli pipa dan membangun bak penampungan di sumber mata air berdebit 1,5 liter per sembilan detik pada ketinggian 264 meter. Mereka iuran Rp 20.000 per orang sebulan untuk membeli keperluan yang dibutuhkan. Dana swadaya dari iuran Rp 20.000 per keluarga sebulan itu terkumpul Rp 5.105.000, meski hanya cukup untuk biaya membangun satu bak penampung, dan pemasangan pipa 1 km. Padahal agar air sampai lokasi yang memudahkan diambil warga memerlukan pipa 4,5 km dan delapan unit bak. Pemerintah Kecamatan Batu Layar berupaya menghubungi para pejabat dan dinas teknis. Sayang Dinas Kimpraswil Lombok Barat pesimistis karena survei menyatakan, mustahil air bisa diturunkan mengingat banyak lokasi lebih tinggi sebagai penghalang air merambat ke hilir. Prioritas Tidak sedikit warga yang menentang bahwa kebutuhan air jadi prioritas utama. ”Malah awalnya ada yang bilang mengalirkan air dari hulu ke hilir hanyalah sebuah mimpi,” tutur Samidi, Ketua Kelompok Kahuripan, lembaga bentukan masyarakat. Terlebih lagi ibu rumah tangga mendesak habis para suaminya untuk mengupayakan tersedianya air di dusun itu. Alasannya, para istri yang paling merasakan kebutuhan air untuk aktivitas rumah tangga tiap hari. Desakan itu direspons Kelompok Kahuripan, yang kemudian lewat musyawarah warga diputuskan pengadaan air jadi prioritas utama, menggeser kesepakatan awal kelompok itu seperti program meningkatkan pemenuhan ekonomi, pendidikan dan informasi. Pesimistis Sikap pesimistis segelintir orang dan hasil survei dinas itu dikesampingkan. Mereka lebih percaya dan punya kearifan lokal bahwa air akan terus mengalir mengikuti alur bentang kenampakan alam kawasan itu. Hanya pipa yang dipasang harus mengikuti kelokan bukit dan ngarai. Cara itu ternyata berhasil dan kini air sudah mulai dimanfaatkan. Keinginan warga itu ternyata mendapat sambutan lumayan. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, misalnya, menyumbang Rp 15 juta untuk membangun empat bak penampung, selain mengganti pipa yang bocor dan jebol karena derasnya air. Pipa yang diganti itu biasa digunakan untuk instalasi kabel listrik, merupakan sumbangan Bappeda Lombok Barat. Untuk pemeliharaan pipa, warga bergantian gotong royong (Rabu, Minggu, dan Jumat) membersihkan semak belukar yang menutupi pipa, dan memperbaiki pipa yang bocor. Selain itu, warga juga membayar iuran pemeliharaan Rp 500 sebulan. Sumbangsih warga diperlukan juga mengingat dari enam bak penampungan yang dibutuhkan, baru tiga bak yang diselesaikan, tiga bak lainnya dalam proses pengerjaan. Kini keberadaan air itu dinikmati warga Dusun Duduk Atas Lauk (160 keluarga), Dusun Duduk Bawak, Dusun Batu Jaran (25 keluarga), dan warga beberapa dusun sekitar yang semula harus naik-turun bukit untuk mendapatkan air. Saat ini pun warga tengah mengupayakan sumber mata air lain pada puncak bukit berketinggian sekitar 185 meter walau warga kehilangan akal untuk mendapatkan biaya pembangunan sarana dan prasarana…. Post Date : 07 Juni 2008 |