Bersusah Payah untuk Mendapatkan Air

Sumber:Kompas - 29 Juli 2008
Kategori:Air Minum

Ladang di daerah berbukit Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, terlihat gersang. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan tanah kering, tandus, dan nyaris tanpa pepohonan. Kekeringan menyebabkan ladang-ladang menjadi gundul.

Tumbuh-tumbuhan yang ada pun telah rebah berwarna kecoklatan. Beberapa petani yang mencangkul di ladang tampak setengah putus asa. "Sudah hampir tiga bulan kekeringan. Musim sekarang tidak menentu," ujar Dasim (58), petani penggarap, sambil melepas lelah di keteduhan.

Biasanya, musim hujan tiba pada bulan Oktober atau November. Namun, Dasim tak berani berharap banyak ladang kentangnya akan subur saat itu. Musim semakin sulit diprediksi. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, bisa saja musim hujan mundur dua bulan.

"Ladangnya seperti ini, tak bisa dimanfaatkan sampai ada air. Hanya mengandalkan hujan. Air bisa diambil, ada sungai kecil, tapi jaraknya 1 kilometer," ujarnya. Dia berharap Pemerintah Kabupaten Bandung dapat membangun pipa atau selang untuk mengairi sawahnya.

Bila untuk menyiram ladang saja sulit, demikian pula untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, seperti mandi, memasak, atau mencuci. "Air dari pompa hanya untuk minum. Kalau mencuci, harus ambil air lagi dengan berjalan kaki ratusan meter. Kondisi desa-desa lain juga sama," katanya.

Warga Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Maman (26), mengungkapkan, dia harus berjalan kaki 200 meter bolak-balik untuk mengambil air setiap hari. Bahkan, ada warga yang harus menempuh 1 kilometer demi mendapatkan air.

"Tahun 2006, ada bantuan untuk pengadaan air, tapi pompa, pipa, dan peralatan lain entah ke mana. Akhirnya batal," kata Maman.

Sementara itu, Edi (39), warga Kelurahan Jatihandap, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung, terlihat susah payah mendorong gerobak usangnya yang berisi empat jeriken. Kapasitas setiap jeriken adalah 20 liter. Jeriken itu harus dibawa setiap hari ke sumur terdekat yang berjarak 100 meter.

"Sekarang memang susah air. Musim hujan saja sulit, apalagi kemarau seperti ini. Air itu untuk mandi dan cuci. Kalau minum, harus beli lagi dari depot," katanya. Edi harus membeli air isi ulang seharga Rp 3.500 per galon (19 liter).

Bila warga harus repot berjalan kaki untuk mendapatkan air, penjualan di depot isi ulang justru meningkat 25-50 persen sejak dua bulan lalu. Sebelumnya, isi empat mobil tangki digunakan untuk melayani enam depot. Saat ini, angka tersebut meningkat menjadi isi satu mobil tangki untuk setiap depot.

Tak menaikkan harga

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Depot Air Minum Kota Bandung Kurtubi Abdulloh, meski permintaan naik, keadaan itu tidak menjadi berkah di antara musibah. Sebab, kenaikan harga bahan bakar minyak telah menekan keuntungan pengusaha depot. Apalagi, mereka harus berebut persediaan air yang diantar mobil tangki.

Pengelola depot juga masih menahan untuk tidak menaikkan harga air isi ulang saat ini yang rata-rata Rp 3.500 per galon. "Kenaikan keuntungan belum tentu sebesar kenaikan permintaan. Aliran air tak selancar dulu," katanya.

Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Daerah Jawa Barat Entang Sastraatmadja mengatakan, masalah pengelolaan irigasi semakin parah. Peraturan Daerah Provinsi Jabar tentang Irigasi baru saja ditetapkan pada awal Juli 2008. Seiring dengan itu, peraturan itu sudah waktunya ditindaklanjuti dengan peraturan gubernur tentang irigasi. (Dwi Bayu Radius)



Post Date : 29 Juli 2008