|
Musim banjir telah tiba. Sejumlah keluarga kelas menengah punya strategi untuk menghadapinya. Ada yang membuat tempat tidur berkaki tinggi, ada yang menyiapkan perahu untuk evakuasi. Kalau strategi tidak jalan, mereka lari ke hotel. Siang yang sibuk buat Atun (61) dan Parwo (65). Dua jam sudah mereka bekerja keras membenahi rumah di Perumahan IKPN, Bintaro, Jakarta Selatan, yang terendam banjir setinggi 2,2 meter, 22 November lalu. ”Tapi, sampai pinggang saya sakit, belum juga kelar,” kata Atun, Selasa (27/11). Mereka mengeluarkan dan menjemur semua barang yang basah, mulai dari keset, sepatu, meja, kursi, hingga buku. Hal yang sama dilakukan beberapa keluarga lain. Hasilnya, hampir semua halaman rumah dan lorong jalan di kompleks itu penuh dengan jemuran barang basah. ”Bersih-bersih seperti ini sudah biasa, kami sudah terlatih, ha-ha-ha,” ujar Atun yang masih bisa tertawa saat banjir menerjang rumahnya. Atun dan keluarga mengalami banjir nyaris setiap tahun sejak 1982. Banjir terparah mereka alami tahun 2007. Saat itu, air merendam rumahnya hingga sebatas plafon akibat hujan dan meluapnya air Sungai Pesanggrahan. Ketika pertama kali mengalami banjir tahun 1982, Atun benar-benar menangis. Betapa tidak, Atun sedang hamil tua, sementara suaminya sedang tidak ada. ”Saya sungguh putus asa, barang habis, kulkas mengambang, dan pakaian bayi hancur semua,” kata Atun. Seiring dengan waktu, Atun dan keluarga terbiasa hidup di tengah banjir. Mereka tidak membeli kasur pegas, sofa, dan perabotan dari tripleks yang rusak jika terendam air. ”Kami hanya beli perabotan dari kayu jati dan kamper,” kata Parwo. Mereka juga punya ”prosedur standar” ketika menerima peringatan banjir besar dari tim penanggulangan banjir lingkungan. Atun segera mengepak pakaian ke dalam tas dan memindahkan barang berharga dari lantai satu ke lantai dua. Parwo memindahkan mobil ke daerah yang lebih tinggi. ”Dalam dua jam urusan mengosongkan barang di lantai satu selesai dan kami siap mengungsi,” ujar Atun. Di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Sutji Lantyka menyiapkan perahu karet yang sewaktu-waktu bisa dipakai untuk mengungsi. Perahu itu juga bisa digunakan sebagai kendaraan untuk membeli air galon, makanan, dan gas selama banjir. Sutji belajar dari pengalaman banjir tahun 2007. Saat itu, ia dan keluarga terkepung banjir di lantai dua tanpa bisa melakukan apa-apa. ”Sejak saat itu, saya menyimpan perahu di rumah buat jaga- jaga,” katanya. Produsen perahu karet Liquid Star, Porkas, mengatakan, harga satu perahu karet berkapasitas enam orang Rp 11 juta-Rp 12 juta. Sejak tahun 2007, keluarga yang memesan perahu karet kian banyak, tetapi Porkas tidak menyebutkan angka pastinya. Di Jalan Kebalen, Jakarta Selatan, Mira (52) tengah membangun ruangan di atas paviliun rumahnya. Ruangan berukuran 3 meter x 4 meter itu akan digunakan khusus untuk mengamankan perabotan rumahnya. Ia sendiri memilih mengungsi ke rumah keluarganya di Ciputat jika banjir menerjang. Otomatis ”ngungsi” Warga Pulo Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang nyaris tiap tahun kebanjiran akibat hujan dan meluapnya Sungai Krukut juga terlatih menghadapi banjir. Rahadian (50), misalnya, meninggikan kaki kulkas dan mesin cucinya sekitar 70 sentimeter. Kalau ingin mengambil sesuatu di bagian atas kulkas, Rahadian harus menggunakan tangga pendek. Adik Rahadian memesan lemari dan tempat tidur khusus berkaki setinggi 80-an sentimeter. ”Tukang (mebelnya) sampai bingung, kok ada orang pesan tempat tidur setinggi itu,” kata Rahadian. Dengan meninggikan kaki-kaki, Rahadian berharap perabotan yang penting tidak terendam banjir. Strategi itu berhasil. Ketika Sungai Krukut meluap pekan lalu dan airnya masuk ke rumah Rahadian setinggi 15 sentimeter, kulkas dan mesin cucinya tidak terendam. ”Tapi, kalau banjirnya 2 meter seperti tahun 2002 dan 2007, ya... bye bye. Kulkas dan kasur pun mengambang, ha-ha-ha,” ujar Rahadian, Rabu. Kalau sudah begitu, Rahadian pasti membuang barang-barang itu. ”Malas ngebersihinnya. Lihat tampang spring bed yang penuh lumpur saya sudah sebal,” lanjutnya. Merwan Yusuf (62) menambahkan, warga lama Pulo Raya punya insting kuat pada musim banjir. Jika langit mendung tebal berhari-hari, mereka segera menyimpan makanan instan, gas, dan air galon untuk beberapa hari. Barang elektronik dan kompor dipindahkan ke lantai dua sehingga ketika banjir merendam, mereka tetap bisa masak. Orang yang sudah tua dan anak- anak diungsikan ke rumah keluarga. ”Soal persiapan banjir, kami sudah autopilot-lah,” ujar Merwan. Meski sudah terlatih dan instingnya tajam, lanjut Merwan, tetap saja warga sering terkecoh oleh banjir. ”Kami sudah berpikir, wah, mendung tebal banget, bakal banjir nih. Eeh, ternyata enggak banjir. Giliran kami pikir tidak banjir, eh, air malah datang tiba-tiba,” katanya. ”Membaca banjir sekarang sangat sulit. Sama sulitnya dengan membaca arah politik kita. Karena itu, kita harus terus melatih otak kanan agar insting kita lebih tajam,” ujar Merwan berseloroh. Lari ke hotel Apa yang dilakukan warga jika semua strategi menghadapi banjir tidak ada yang mempan? ”Ya, kami hanya bisa tawakal. Mau apa lagi, banjirnya datang tiap tahun,” ujar Merwan. Retno, warga Pulo Raya, hanya bisa menenangkan diri saat air merambat masuk ke rumahnya. ”Saya naik ke tempat tidur, duduk, sambil nonton televisi. Kalau airnya makin tinggi, saya segera lari ke hotel beberapa hari. Itu saya lakukan tahun 2007,” katanya. Ayu Partiwi, warga Bintaro, memilih mengungsi ke apartemen jika banjir merendam rumahnya. Sementara itu, Atun dan Parwo mengungsi ke rumah lain milik mereka di kawasan Kampung Utan, Ciputat, Tangerang Selatan. ”Sebenarnya, kami ingin pindah dan menetap di rumah baru, tapi anak saya tidak mau. Akhirnya, rumah itu jadi tempat ngungsi saja,” ujar Atun. Pada akhirnya, mereka yang tinggal di lokasi rawan banjir menerima kenyataan bahwa banjir tidak mungkin dilawan. ”Banjir lebih baik dirangkul saja. Hanya dengan cara itu kami tetap bertahan,” ujar Atun. Wahyudi Soeriaatmadja (41) bahkan membangun keyakinan bahwa masih ada setumpuk keuntungan tinggal di daerah banjir asalkan lokasinya strategis di jantung kota. Dengan keyakinan itu, dia membeli rumah di Kebalen, daerah rawan banjir di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk disulap menjadi rumah indekos. ”Harganya lebih murah, padahal dekat dengan sentra bisnis. Ketika kos-kosan belum jadi, sudah banyak yang pesan,” ujar Wahyudi. ”Banjir paling setahun atau beberapa tahun sekali. Seminggu ngungsi ke hotel tidak apa-apa, sisanya 358 hari bisa tinggal nyaman, ke kantor dekat, ke sekolah dekat,” kata Wahyudi. Budi Suwarna &Indira Permanasari Post Date : 02 Desember 2012 |