|
Sigit (9) kini tidak lagi bersekolah. Ia pernah bersekolah sampai kelas dua SD di kampungnya di Puloasem, Cikarang, Jawa Barat. Ia berhenti sekolah setelah diajak tinggal bersama orangtuanya di areal penampungan sampah di Kelurahan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sudah setahun ia putus sekolah. Selama setahun itu pula ia tidak lagi bersentuhan dengan pensil dan buku. Membaca dan menulis hampir dilupakannya. Sehari-hari ia bermain di antara sampah dan barang-barang bekas. Sambil bermain, kadang ia memancing paku bekas di sepanjang sungai yang membelah areal pembuangan sampah tempat ia tinggal. Sebilah kayu dengan magnet yang diikatkan di ujung menjadi alat pancingnya. Dalam 4-5 hari ia bisa mengumpulkan sekitar delapan kilogram paku bekas yang bisa dijualnya seharga Rp 10.000. Lebih dari 100 anak usia wajib belajar yang tinggal di areal penampungan sampah Lebak Bulus sampai hari ini tidak memperoleh akses pendidikan. Mereka terisolir di tengah gubuk-gubuk yang berdiri di antara gundukan sampah yang mulai hancur menjadi tanah. Apartemen, permukiman, dan pertokoan mewah yang berdiri mengepung areal pembuangan sampah itu, kian mengasingkan anak-anak itu dari lingkungannya. Hampir semua anak yang menginjak remaja tidak bisa membaca dan menulis. Padahal di dekat lokasi itu berdiri Sekolah Internasional Singapura. Selama bertahun-tahun tidak ada yang peduli akan hak pendidikan anak-anak pemulung dan tukang sampah itu, sampai mereka kedatangan Lia (33), seorang warga keturunan Tionghoa, yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Lilia Tanuwihardjo, ibu seorang anak bernama Zendo (5), tidak mengenal seorang pun warga yang bermukim di areal penampungan sampah yang berbatasan dengan Perumahan Bona Indah, tempat ia tinggal. Arsitek lulusan Universitas Tarumanegara itu merasa tergerak hatinya melihat anak-anak kecil yang mengais-ngais sampah di dekat rumahnya. Ia ingin tahu di mana anak-anak itu tinggal. Diikutinya anak-anak itu, tetapi anak-anak itu justru lari menghilang karena merasa ada orang asing mengikutinya. Berulang-ulang Lia membuntuti anak-anak itu, tetapi gagal. Setelah berminggu-minggu barulah ia tahu ke mana anak-anak itu pergi. Anak-anak itu berjalan menyusuri jalan tanah yang kiri kanannya lebat ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa. Sampah tercecer di sepanjang jalan. Ternyata di antara apartemen dan permukiman mewah itu berdiri puluhan gubuk di sela- sela areal penampungan sampah. Belakangan ia mengetahui, permukiman itu dihuni tak kurang dari 120 keluarga dengan ratusan anak usia wajib belajar dan prasekolah yang tidak punya kesempatan bersekolah. Selama hampir tiga bulan, seminggu sekali, Lia datang ke tempat itu. Ia hanya berani duduk-duduk di sebuah warung yang ada di situ. Aku sempat dicurigai mau menculik anak, kata Lia yang bekerja lepas di rumah. Kontak tidak langsung itu berlangsung lama, sampai Lia memberanikan diri bermain dengan anak-anak yang tinggal di situ. Setelah beberapa lama, Lia menawari anak-anak itu belajar bersama. Tawaran itu disambut hangat oleh warga di situ. Tanpa fasilitas apa pun ia memulai mengajak anak-anak itu belajar di emperan sebuah gubuk seluas dua meter persegi. Mengajar di depan anak-anak merupakan sesuatu yang asing baginya. Tanpa pengalaman apapun ia mencoba sebisanya. Rupa-rupanya tingkah lalu Lia di depan anak-anak itu diam-diam diamati Heri alias Hendrik (50), seorang pemulung yang dekat dengan anak-anak yang tinggal di situ. Ia menanyakan mengapa anak-anak tidak diajar menyanyi. Lia hanya bisa menjawab bahwa ia tidak bisa menyanyi. Sejak itulah Hendrik yang hanya bersekolah sampai tingkat SD membantu mengajar anak- anak yang dibimbing Lia. Hendrik pula yang berinisiatif membeli papan tulis kecil dengan uang dari koceknya sendiri. Sadar akan kekurangannya, Lia mengundang Sri Wahyaningsih, ibu rumahtangga yang menyelenggarakan pendidikan anak-anak Sanggar Anak Alam Salam di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, untuk mengajar di Lebak Bulus. Dari situlah Lia mulai membuat program belajar yang lebih sistematis. Dengan bantuan sejumlah kawannya, Lia mengumpulkan dana Rp 2,1 juta untuk mendirikan saung rumah panggung semi permanen tak berdindingagar anak- anak itu bisa belajar lebih nyaman. Ia juga menamainya Sanggar Anak Alam; Salam. Sanggar anak itu segera saja dipenuhi anak-anak yang ingin belajar. Saat ini tercatat 36 anak usia 5-8 tahun yang bergabung. Untuk biaya operasional, Lia memperoleh dukungan dari dua orangtua kawan sekolah anaknya. Masing-masing menyumbang Rp 50.000 sebulan. Suamiku juga mendukung. Sejak mahasiswa aku memang suka kegiatan-kegiatan seperti ini. Aku betah tinggal di desa sampai berminggu-minggu, tutur Lia. Suaminya seorang arsitek, kawan kuliahnya dulu. Lia kewalahan sendiri menangani kegiatan belajar untuk anak-anak pemulung dan tukang sampah itu. Anak-anak usia 10- 15 tahun yang belum bisa membaca dan menulis belum bisa dia jangkau. Anak-anak itu baru pulang petang hari. Minat belajarnya pun telah pupus. Belum lagi orangtua mereka yang sebagian besar tidak bisa baca tulis. Sekecil apa pun langkah yang dilakukan Lia memberikan harapan baru bagi anak-anak miskin usia sekolah yang belum menjadi perhatian negara. Bahkan, Arfan (10) yang beruntung bisa bersekolah di SD negeri sering ikut belajar bersama adik-adiknya di sanggar Salam. Post Date : 27 Juli 2005 |