|
Ada sebuah pameo yang menyatakan tak ada yang gratis di bumi ini. Sepertinya ungkapan ini dari hari ke hari sesuai berjalannya waktu semakin menjadi kenyataan. Tanah yang zaman dahulu gratis untuk diperoleh, kini sulit untuk didapatkan jika uang di kantong tipis apalagi di kawasan perkotaan. Air bersih yang jaman nenek moyang dulu sangat mudah didapatkan di semua sumber-sumber air yang ada dipermukaan bumi seperti danau, sungai, dan air tanah, kini keberadaannya di beberapa tempat bagaikan barang langka yang susah untuk didapatkan. Air di Sungai, danau, air di bawah permukaan tanah, sampai air hujan sudah tidak sehat lagi, tidak bersih karena terkontaminasi polutan dari sektor industri, transportasi, dan berbagai kegiatan manusia lainnya. Alhasil untuk meneguk seliter air bersih, seseorang harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit, bahkan bila dibandingkan dengan harga minyak tanah, nilainya bisa dua kali lipat. Seliter air mineral di pasaran saat ini sudah mencapai Rp 4.000- Rp 5.000 sedangkan dengan volume yang sama minyak tanah hanya dijual Rp 2.500. Sekarang muncul pertanyaan bagaimana dengan udara? Seorang rekan dengan nada enteng, tetapi meyakinkan mengatakan hingga saat ini hanya udara yang bisa secara gratis diperoleh. Alasannya, di jalan-jalan, pertokoan, dalam pesawat, di hutan maupun di lautan, atau di mana pun tempat di muka bumi ini seseorang bisa menghirup udara atau bernapas dengan bebas tanpa dibebani kewajiban untuk mengeluarkan sepersen pun kepada orang lain melakukan aktivitas vital tersebut. Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah, benarkah demikian? Benarkah udara yang kita hirup setiap hari itu masih akan didapatkan dengan gratis? Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim yang kini tengah berlangsung di Nusa Dua, Bali, hingga tanggal 14 Desember mendatang membuka perspektif baru dalam pikiran kita. Udara yang kita hirup sebebas-bebasnya saat ini tidaklah gratis. Semua dibayar. Pertanyaannya, lho kok bisa? Baru-baru ini Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) -kumpulan ilmuwan yang mempelajari perubahan iklim, mengeluarkan hasil studi ilmiah mereka baru-baru ini bahwa suhu di permukaan bumi memanas rata-rata 0,7 derajat Celsius sejak revolusi industri tahun 1750 sampai tahun 2000. Perubahan suhu ini mengakibatkan terjadinya pemanasan global (global warming) yang memicu terjadinya perubahan iklim (climate change). IPCC memastikan, biang kerok terjadi pemanasan global adalah aktivitas manusia yang mencemari atmosfer bumi dengan gas-gas yang disebut gas rumah kaca antara lain karbondioksida (CO2) dan methane (NH4) atau sering dikenal dengan CO2 equivalen. Peringatan inilah yang kemudian direspons sejumlah besar negara untuk melakukan perbaikan sehingga mendirikan badan dunia yang disebut United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang kini bersidang di Bali untuk ke-13 kalinya. Sebagian besar negara-negara maju yang sudah memiliki industri-industri skala raksasa lebih memilih untuk membayar negara-negara berkembang yang memiliki hutan agar pertumbuhan ekonomi mereka tidak terhambat. Negara maju beranggapan hutan di negara berkembang harus tetap dijaga sebagai paru-paru dunia yang mampu meng- hirup emisi yang dikeluarkan negara maju. Miliaran Dolar Untuk itulah muncul program yang dinamakan clean development mechanism (CDM) yang merupakan bagian dari skema perdagangan karbon (carbon trading). Program ini memberikan insentif kepada negara-negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi karbon (CO2) mereka. Insentifnya cukup besar bisa mencapai miliaran dolar. Kini, pada konferensi di Bali muncul lagi usulan program baru yang disebut dengan REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation). Usulan yang diprakarsai Indonesia ini didukung sejumlah negara yang memiliki hutan alami. Program ini intinya negara maju memberikan kompensasi kepada negara berkembang yang berhasil menjaga hutan alami mereka. Nilai kompensasinya pun meski belum disetujui, tetapi diprediksi bisa mencapai miliaran dolar. CDM dan REDD merupakan bukti bahwa untuk memperoleh udara yang bersih dan layak untuk dikonsumsi manusia bukanlah sesuatu yang gratis. [SP/Erwin Lobo] Post Date : 06 Desember 2007 |