Bermimpi Semarang Tidak Banjir dan Rob Lagi

Sumber:Kompas - 14 Maret 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Semarang tidak akan bebas dari banjir. Berbagai upaya belum mampu mengelola banjir yang sudah ada sejak hampir seabad silam. Bahkan Semarang berpotensi besar dilanda banjir seperti Jakarta. Untung, curah hujan belum terlalu tinggi dan banjir pun masih tertunda.

Topografi Kota Semarang tidak berbeda jauh dengan Jakarta. Kedua kota ini sama-sama memiliki batas wilayah laut dan sungai-sungai besar yang melintas di tengah kota. Di kedua kota ini pula, hulu beberapa sungai berada di luar wilayah administratifnya.

Yang membedakan, hulu sungai di Jakarta sebagian besar berasal dari Kabupaten Bogor, sedangkan di Kota Semarang sebagian kecil saja yang berada di Kabupaten Semarang. Jika dihitung, hanya sekitar 10 persen sungai yang hulunya ada di Kabupaten Semarang.

Menjadi tidak masuk akal kalau ada yang mengatakan penyebab banjir adalah Kabupaten Semarang. Menjadi tidak bijak kalau menyebutkan sumber persoalan banjir Kota Semarang itu masalah Kabupaten Semarang. Sekitar 90 persen sungai berada di Kota Semarang. Pakar Hidrologi Universitas Diponegoro Dr Robert J Kodoatie mengatakan, penyebab banjir di Kota Semarang, ya orang Kota Semarang sendiri. "Tolong, pejabat itu kalau bicara lihat datanya dulu. Kalau tidak kan bisa menyesatkan," kata Robert.

Kota Semarang hampir seabad bersahabat dengan banjir. Bukan tidak mungkin, masyarakat semakin mampu beradaptasi dengan banjir lantaran banjir di kota lunpia ini tidak pernah berakhir. Banjir bagi sebagian orang bukan lagi sebuah bencana, tetapi sudah menjadi hal biasa. Maklum banjir sudah menjadi rutinitas tahunan.

Jika diidentifikasi, persoalan banjir di Kota Semarang ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah aliran sungai (DAS) yang makin parah.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Semarang Tandiono Bawor Purbaya menyebutnya ketidakkonsistenan pemerintah kota dan masyarakat dalam mengubah tata guna lahan menjadi penyebab utama banjir.

Menurut Robert J Kodoatie, perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi permukiman dapat menambah debit air sungai 5-20 kali lipat. Sementara pembersihan sedimentasi dan pelebaran sungai oleh pemkot hanya menampung 2-4 kali debit air. Selebihnya, kata Robert, sudah pasti akan meluap ke mana-mana dan langkah pemkot hanya akan sia-sia.

Sebenarnya Departemen Pekerjaan Umum sudah mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan sebutan zero delta Q policy. Jika lahan DAS dikembangkan atau diubah fungsi, debit sebelum dan sesudah lahan berubah harus tetap sama.

Konsep ini, kata Robert, dapat dilakukan dengan cara kompensasi pada lahan permukiman harus disisakan lahan untuk penahan run-off (aliran permukaan). Misalnya, membuat sumur resapan, embung, dan penanaman rumput. "Kalau melihat kondisi alih fungsi lahan di DAS saat ini yang sudah parah sekali, banjir di Kota Semarang memang harus tambah parah," kata Robert.

Pengelolaam DAS menjadi kuncinya. Kegiatan pengelolaan lahan dimaksudkan untuk menghemat dan menyimpan air serta konservasi tanah. Pengelolaan DAS dapat mengurangi debit air di daerah hilir, mengurangi erosi tanah, dan mengurangi muatan sedimen di sungai. Misalnya, pemeliharaan dan penanaman tumbuh-tumbuhan di hulu DAS.

Selain itu, faktor penegakan aturan yang sudah ada harus konsisten. Menurut studi Japan International Cooperation Agency (JICA) di Jakarta, kata Robert, pembuatan banjir kanal hanya akan mampu mengendalikan 10 persen banjir. Selebihnya (90 persen) banjir dapat diatasi dengan pembuatan sumur resapan dan situ untuk penampungan air. Artinya, pola penanganan banjir yang dilakukan pemkot selama ini masih kurang membawa hasil yang signifikan.

Untuk mengatasi banjir kiriman, pemkot akan membangun Waduk Jatibarang dengan kapasitas 20,4 juta meter kubik di sekitar hulu Sungai Kreo. Sementara di Banjir Kanal Timur akan dibangun 19 bendung kecil yang sudah pada tahap penyelesaian desain. "Tahun 2007 sudah akan dimulai secara bertahap," kata Fauzi, Kepala Subdinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang ketika ditemui Kompas akhir Februari. Selain itu juga akan dibuat penambahan sungai atau alur sungai baru Dombo Sayung untuk memperlancar aliran air ke laut.

Rencana pembangunan Waduk Jatibarang masih dinilai kurang efektif karena tidak akan menyelesaikan masalah. Robert beralasan, kontribusi banjir dari Sungai Kreo hanya 27 persen. Ini tidak signifikan karena sumber banjir lainnya seperti Sungai Plumbon, Silandak, dan Beringin tidak teratasi. Penurunan permukaan tanah

Faktor kedua adalah penurunan permukaan tanah yang tinggi. Menurut catatan sejarah, tanah wilayah Semarang bawah berasal dari endapan dan sedimentasi. Tanah aluvial sudah pasti akan turun hingga sekitar empat meter. Sekarang ini baru 45 persen dengan penurunan tanah 6 -10 sentimeter per tahun. Permukaan tanah baru akan stabil sekitar 30 tahun yang akan datang.

Sebagai daerah langganan banjir, Kota Semarang memiliki pilihan menjauhkan air dari masyarakat, menjauhkan masyarakat dari banjir, atau masyarakat harus hidup harmonis dengan air.

Dari ketiga pilihan itu, alternatif pertama dan kedua membutuhkan biaya sangat besar. Pilihan ketiga menjadi masuk akal. Inilah konsep water front city. Konsep ini menghendaki masyarakat membuat rumah panggung dengan kondisi sekelilingnya air yang bersih. Hal ini cocok untuk Kota Semarang yang memiliki tingkat penurunan tanah cukup tinggi.

Meski demikian, pemkot masih mengusahakan penangannya dengan pendekatan struktur atau bangunan. Menurut Fauzi, untuk mengatasi rob di Kota Semarang bagian utara, pemkot akan memanfaatkan Jalan Arteri Utara sebagai tanggul. Selanjutnya, tiga stasiun pompa akan dipasang di Sungai Banger, Semarang, dan Baru. Meski masih tahap desain, Fauzi optimistis sistem pompa itu dapat dioperasikan 2008. Menyadari tidak memungkinkannya tiga stasiun pompa dapat menuntaskan persoalan rob, konsep water front city, menurut Fauzi, layak untuk dikaji. Ia mengatakan, solusi penuntasan banjir lokal dan rob adalah masyarakat harus membuat rumah panggung. "Atau kalau tidak mau terkena rob ya harus pindah," katanya.

Konsep water front city sejalan dengan Robert. "Water front city dapat diterapkan untuk daerah yang tingkat penurunan tanahnya tinggi," katanya. Daerah dengan penurunan tanah tinggi antara lain Tanah Mas, Tawang, dan Tambaklorok. Di ketiga tempat itu penurunan tanah mulai tujuh sentimeter sampai 11 sentimeter per tahun. Untuk itu, kata Robert, sosialisasi kepada masyarakat menjadi suatu keharusan.

Apa pun yang sudah dilakukan pemkot tetap perlu diapresiasi. Masyarakat sendiri yang akan menilai seberapa besar manfaat upaya pemkot dalam menanggulangi banjir. Jangan sampai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun lantaran pemkot belum mampu mengatasi banjir yang sudah menjadi "agenda" tahunan ini.

Memang, Kota Semarang tidak akan bebas dari banjir. Banjir tiada akhir. Meski demikian, upaya mengurangi dampak banjir tetap harus diusahakan dan terfokus pada keseimbangan antara alam dan kehidupan manusia. Semoga! Oleh ARI SUGIYA (LITBANG KOMPAS)



Post Date : 14 Maret 2007