Berlebaran Tanpa Mandi dan Mencuci

Sumber:Kompas - 02 September 2011
Kategori:Air Minum
Sejumlah warga Jakarta akhirnya tidak bisa mandi dan mencuci pakaian dan perabotan dapurnya yang kotor pada Lebaran hari kedua, Kamis (1/9). Tidak setetes pun air bisa dialirkan dari keran untuk mengisi bak, tempayan, atau drum.
 
Air keran mati sebab tidak ada pasokan dari instalasi pengolahan air (IPA) yang bisa disalurkan ke rumah-rumah warga di Kecamatan Tanah Abang (Jakarta Pusat) dan Jatinegara (Jakarta Timur). Pasokan untuk IPA terganggu hingga putus total akibat pintu air Buaran di Kalimalang, Jakarta Timur, runtuh pada Rabu (31/8) pukul 22.00 WIB.
 
Dengan segala upaya, warga berusaha mendapat air biarpun terbatas. Ada yang meminta dari tetangga yang punya sumur. Ada yang membeli air isi ulang.
 
”Kalau listrik padam, penerangan bisa pakai lilin. Nah, kalau enggak ada air, mau ganti pakai apa?” keluh Yuni (35), warga RW 11 Kelurahan Cipinang Besar Utara, Jatinegara, dengan nada kesal.
 
Para tetangga Yuni tidak memiliki sumur. Yang punya sumur pun berair keruh kehitaman akibat sudah tercemar sehingga air tidak bisa dipakai. Yuni terpaksa merogoh kocek Rp 6.000 untuk membeli dua galon penuh air isi ulang (40 liter). ”Cuma bisa untuk cuci muka dan gosok gigi keluarga,” katanya.
 
Yuni dan para tetangga akhirnya menyerbu warung penjual air isi ulang yang belasan jumlahnya di Cipinang Besar Utara. Salah satu warung penjual air isi ulang di RW 10 akhirnya ramai dikunjungi pembeli. Karyawan bernama Noto Kurniawan (17) tampak sibuk mengisi dan mengantar galon-galon penuh air isi ulang. ”Ini pesanan warga yang kehabisan air karena keran PDAM mati,” katanya sambil menghidupkan sepeda motor.
 
Satu galon berisi 20 liter air dijual Rp 3.000. Jika diantar, pembeli membayar lagi Rp 1.000 untuk ongkos pengantaran. Sri Jumiati (60), pengelola warung, mengatakan, produksi air isi ulangnya bisa mencapai 400 galon.
 
Slamet (50) sedikit beruntung karena memiliki sumur berkualitas air cukup jernih. Kamis pagi, keluarga Slamet masih bisa mandi dan mencuci pakaian dan perabot rumah tangganya. Bahkan, rumah Slamet ramai dikunjungi para tetangga yang meminta air, meskipun hanya untuk cuci muka dan gosok gigi.
 
Tidak ada pemberitahuan
 
Warga Cipinang Besar Utara yang terkena dampak juga menyesalkan tidak adanya pemberitahuan. Mereka rata-rata mengetahui keran mati akibat pintu air Buaran runtuh dari berita yang disiarkan televisi sejak pagi.
 
”Sayang sekali, kami pelanggan PDAM tidak diberi tahu kenapa air mati,” kata Yuni.
 
Yuni mulai merasakan air keran mati saat terjaga dari tidur sekitar pukul dua pagi. Ia juga tidak sempat mengisi air di baknya. Ia sempat berpikir mungkin agak siang air akan mengalir, tetapi perkiraannya itu keliru.
 
Kondisi serupa dialami Syionny (40), warga RW 06 Kelurahan Karet Tengsin, Tanah Abang. Bolak-balik perempuan ini menenteng ember dari tetangga yang punya sumur demi mengisi bak kamar mandi.
 
”Pagi sempat mandi, tetapi kayaknya enggak bisa mandi lagi sampai ada pemberitahuan kapan air keran ada lagi,” kata pemilik warung kelontong itu.
 
Dari pemberitaan, Syionny mengetahui penanganan runtuhnya pintu air Buaran minimal tiga-empat hari. Artinya, selama itu pula keluarganya tidak bisa mandi dan mencuci kecuali rela merogoh kocek untuk membeli air.
 
Padahal, untuk mandi, satu orang mungkin memerlukan minimal dua galon (40 liter). Jika memakai air isi ulang, untuk satu kali mandi, satu orang bisa menghabiskan uang minimal Rp 6.000.
 
Saat air mati, warga Jakarta pelanggan Palyja atau Aetra biasanya mengandalkan penjual air keliling dengan gerobak atau truk tangki. Namun, karena masih suasana Lebaran, penjual air keliling pun masih banyak yang sedang mudik sehingga tidak banyak membantu.
 
Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Gara-gara satu pintu air rusak, ratusan ribu keluarga menderita karenanya.
 
Siapa yang harus bertanggung jawab? (Ambrosius Harto Manumoyoso)


Post Date : 02 September 2011