Januari tahun 2010, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, memutuskan kerja sama dengan Kota Tangerang Selatan untuk mengolah sampah. Tangerang menarik 40 armada sampah miliknya dan melarang Tangsel membuang sampahnya ke Tempat Pembuangan Akhir Jatiwaringin milik kabupaten.
Inilah awal petaka bagi Tangerang Selatan (Tangsel) yang dimekarkan dari Kabupaten Tangerang pada 2008.
Sejak saat itu, pemerintah kota seluas 147,19 kilometer persegi tersebut terus keteteran menangani masalah sampah warganya. Pasalnya, Tangsel hanya memiliki empat truk untuk mengangkut sekitar 500 meter kubik sampah per hari dari sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh 1,47 juta jiwa penduduknya, (berdasarkan sensus penduduk tahun 2009), rumah sakit, juga industri yang ada di wilayah itu.
Tidak heran jika di Tangsel mudah ditemukan tumpukan sampah baik di pasar, lahan pembuangan sementara, trotoar, atau di badan jalan.
Minggu (26/12) sekitar pukul 17.30, tumpukan sampah di depan Pasar Jombang lebih sedikit dibanding dua pekan lalu. Lebih dari separuh gunungan sampah yang ada telah dipindahkan. Badan jalan yang biasanya terkotori sampah kini menjadi lapang. Namun, sampah tetap terlihat berserak di sepanjang depan pasar bercampur dengan genangan air lindi (air dari tumpukan sampah).
Tumpukan sampah memanjang dan nyaris tidak berkurang volumenya mudah ditemui di depan Stasiun Sudimara. Sementara di depan Pasar Ciputat sampah menggunung hingga setinggi hampir 2 meter. Sebuah alat berat teronggok dekat tumpukan sampah. Alat berat ini biasanya digunakan untuk memindahkan sampah ke dalam truk pengangkut. Namun, sepertinya truk yang dinanti tak kunjung tiba.
Kondisi serupa terlihat di dekat Pasar Cimanggis, Serpong, dan Pamulang serta Jalan Serpong Raya, Dewi Sartika, dan KH Dewantara.
Penjabat Wali Kota Tangsel pada masa kepemimpinan Shaleh MT (1 Januari 2009 sampai 18 Juli 2010 ) sampai Eutik Suarta (18 Juli 2010 sampai 24 Januari 2011) terbukti belum bisa membuahkan strategi tepat mengatasi sampah.
”Dengan segala kemampuan yang sangat terbatas, secara bertahap kami berusaha menangani sampah ini,” kata Penjabat Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman (DKPP) Tangsel Joko Suryanto, pekan lalu.
DKPP Tangsel mencatat dana untuk penanganan sampah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun 2010 sebesar Rp 6 miliar atau 0,5 persen dari seluruh nilai APBD.
Tidak heran kalau kemudian Penjabat Wali Kota Tangsel Eutik Suarta menjanjikan, penanganan sampah akan lebih difokuskan pada tahun anggaran 2011.
”Pada 2011, rencananya akan ada pengadaan 30 armada pengangkut sampah. Total anggaran penanganan sampah Rp 40 miliar,” jelas Eutik.
Jumlah armada memang masih kurang karena kebutuhan truk minimal adalah 45 unit. Eutik juga berjanji nantinya penanganan sampah dibenahi, mulai dari pengadaan armada pengangkut dan menyediakan tempat pembuangan akhir (TPA) memadai yang berfungsi sebagai pusat pengolahan sampah di Cipeucang, Serpong.
Sejauh ini, penanganan sampah dilakukan DKPP. Sebelumnya, ada perusahaan yang mau bekerja sama dan sempat uji coba mengolah sampah dengan sistem pengelolaan dan pengolahan sampah terpadu. Namun, uji coba itu putus di tengah jalan. Saat ini, sebuah perusahaan dari Singapura sudah menawarkan diri membantu penanganan sampah di Tangsel. Sayangnya, perusahaan itu belum memiliki izin usaha di Indonesia.
Tiga bulan
Pengamat perkotaan dan sosiolog Yayat Supriyatna mengatakan, masalah sampah di Tangsel menandakan buruknya sistem birokrasi pemerintahan setempat. Tangsel bisa dikategorikan belum siap menjadi kawasan otonom. Di sisi lain, masalah sampah juga mencuatkan fakta ada disharmonisasi antara Tangsel dan Tangerang, juga dengan Pemerintah Provinsi Banten.
”Tangsel sendiri sekarang dihadapkan pada masalah politik, yaitu pilkada dan sengketanya yang berbuntut molornya jadwal kota ini untuk memiliki wali kota. Untuk itu, pejabat wali kota dan wali kota terpilih nanti harus berani fokus, abaikan urusan politik yang memiliki koridor dan aturannya sendiri, dan beralih hanya memikirkan bagaimana menangani sampah,” kata Yayat.
Yayat menegaskan, hanya perlu tiga bulan untuk menyelesaikan masalah sampah. Selain harus fokus, baik pejabat wali kota maupun wali kota terpilih berhak mendapat bantuan dari Pemprov Banten. Pemprov diminta proaktif mengirimkan bantuan armada truk dan menjembatani konflik antara Tangsel dan Tangerang.
”Harus mulai saat ini juga. Mau kapan lagi,” kata Yayat. PINGKAN ELITA DUNDU/NELI TRIANA
Post Date : 28 Desember 2010
|