Berjalan Tujuh Kilometer untuk Mendapatkan Air Bersih

Sumber:Suara Pembaruan - 23 Juli 2009
Kategori:Air Minum

Dampak dari El Nino atau perubahan temperatur permukaan air secara fluktuatif di timur Samudra Pasifik mulai dirasakan masyarakat. Sumber mata air tradisional mulai mengering, bahkan permukaan air tanah mulai menurun. Sumur bor berjarak 20 meter sudah tidak mampu menarik air, danau-danau mengering dan hujan yang tak kunjung turun.

Staf Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, Sigit Hadi Prakoso, Selasa (21/7) mencatat, musim kemarau tahun ini diprediksi lebih panjang dan fenomena itu terus berlanjut hingga akhir tahun, maka musim hujan diperkirakan akan mundur dua hingga tiga bulan.

"Artinya, Desember nanti yang harusnya sudah turun hujan, kemungkinan besar masih akan kemarau," ujarnya.

Dampak terparah akan terasa pada akhir September. Musim kemarau tahun ini berlangsung sejak awal Juni. Dalam kondisi normal, musim kemarau berlangsung hingga akhir September.

Sementara itu, dalam satu bulan terakhir, warga yang tinggal di perbukitan Prambanan, Sleman, mulai merasakan dampak menyusutnya persediaan air tanah. Masyarakat Desa Sumberharjo, Wukirharjo, dan Sambirejo, mulai mengandalkan air bantuan pemerintah, sedang untuk membeli air, rata-rata warga merasa tidak mampu.

Seperti dituturkan warga Sambirejo, Wuryadi Sutanto (35), warga sudah mulai mengharapkan dropping air dari pemerintah sejak awal bulan Juli. "Kemarin-kemarin (tahun lalu-Red) kondisi masih agak lumayan. Masih ada air di sumur. Tapi, sekarang kering kerontang. Semua telaga tidak bisa diharapkan, kering semua. Satu-satunya cara buat bertahan hidup ya beli air," katanya.

Namun, Wuryadi mengatakan, satu tangki air volume 5000 liter, hanya cukup dikonsumsi selama seminggu untuk dua keluarga. Untuk itu, dia dan tetangganya masing-masing harus memberi Rp 40.000. (Satu tangki Rp 80.000).

Untuk dia mengambil jalan alternatif dengan mengambil sendiri air bantuan dari bak penampungan desa yang jaraknya 7 kilometer dari rumahnya. "Jaringan pipa air bersih dari bawah juga telah lama tidak berfungsi," katanya.

Kesulitan air bersih juga dirasakan Utami (40), warga Dusun Pereng, Desa Sumber Harjo. Sumur timba miliknya sudah mengering sejak awal Juli lalu. "Sumur saya saja dalamnya 25 meter. Itu sudah kering. Akhirnya, saya beli air eceran dan minuman kemasan. Jadi boros," katanya.

Menanggapi kesulitan warga Sleman tersebut, Kepala Bidang Penanggulangan Bencana Alam Sleman Singgih Sudibyo mengatakan pihaknya telah menyediakan 375 tangki air selama musim kemarau ini. Namun, pengiriman air bantuan itu belum akan dilakukan sekarang karena masih menunggu puncak kemarau sekitar bulan Agustus nanti dan akan diprioritaskan untuk empat desa di Kecamatan Prambanan yang menjadi langganan kekeringan setiap tahun, yakni Sumberharjo, Gayamharjo, Wukirharjo, Sambirejo.

Kecamatan Prambanan dan Kecamatan Gamping tercatat menjadi kawasan rawan kekeringan di Sleman.

Dari data yang dimiliki Dinas P3BA tahun 2008 lalu, dari 850 tangki air yang disediakan oleh pemerintah guna mengantisipasi kekeringan, hanya 521 tangki yang dimanfaatkan.

"Tahun ini, khusus untuk wilayah Kecamatan Gamping ada dua desa yang rawan kekurangan air bersih, Desa Balecatur dan Ambarketawang. Di dua desa itu ada 6 padukuhan yang sangat membutuhkan bantuan air bersih," jelasnya.

Mengingatkan

Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Dinas Pertanian Jawa Barat Helmi Anwar mengingatkan para petani untuk bersiap akan fenomena El Nino yang diperkirakan akan memperpanjang masa kekeringan. "Kita sudah ingatkan agar mereka tidak memaksakan untuk menanam," katanya.

Sampai saat ini, penanaman sudah dilakukan hingga 700.000 hektare. "Kita bersyukur sampai saat ini masih ada air. Sehingga, produksi relatif aman untuk musim kering pertama," katanya.

Menurut Helmi, pihaknya tetap menargetkan surplus produksi gabah kering giling pada tahun ini. Jumlahnya sekitar lima persen berbanding produksi tahun sebelumnya. Produksi tahun ini ditargetkan 10,7 juta ton gabah kering giling. Berdasarkan angka ramalan kedua yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Jawa Barat, produksi itu sudah mencapai 10,6 juta ton gabah kering giling. Jadi, memang cukup produktif.

Sebagian besar petani di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), khususnya di wilayah Cilacap Timur, seperti di Kecamatan Binangun, Kroya, Sampang, Adipala, Nusawungu, dan Maos, tetap menanami sawah mereka dengan tanaman padi.

Mereka mengandalkan air Sungai Serayu dan anak-anak sungainya, masih bisa disedot dengan pompa air untuk disalurkan ke sawah-sawah yang mulai kering pada musim kemarau ini. Mereka nekat bertanam padi, walau berisiko tanamannya mati kekurangan air.

"Tak ada lagi yang bisa kami andalkan kecuali bertaam padi," ujar Ratimin (55) petani Desa Pesruhan Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap, Rabu (22/7) pagi.

Petani lain di Kecamatan Kroya, Nirboyo (50) menuturkan, kebiasaan bertanam padi di musim kemarau ini tidak bisa dihilangkan. Mengingat daerah ini memiliki rawa-rawa yang cukup luas. Sehingga para petani tetap bisa menyedot air rawa untuk kebutuhan sawahnya. Selain itu masih ada cara lain untuk memperoleh air yaitu dengan membuat sumur pantek atau sumur bor tradisional.

"Kalau banjir, rawa malah meluap dan banjir bisa membuat tanaman kami puso. Sebaliknya kalau kemarau justru lebih aman, karena rawa tak bakal meluap dan airnya dimanfaatkan untuk mengairi sawah," katanya.

Saat ini usia tanaman padi mereka sudah berjalan 1,5 bulan. Berarti 2,5 bulan lagi bakal panen, Mereka berharap dalam kurun waktu 2,5 bulan tidak turun hujan dan banjir, sehingga tanaman mereka bisa lebih aman dan hasil panennya melimpah. Namun masih banyak pula yang baru mengolah sawahnya untuk ditanami padi.

Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Dispertanak) Kabupaten Cilacap Gunawan, ketika dikonfirmasi membenarkan banyak petani yang menyalahi pola tanam dan nekat bertanam padi pada musim kemarau. Bagi petani yang belum mulai tanam pada musim kemarau ini, diimbau agar jangan memaksakan diri menanam padi.

"Sebaiknya petani bertanam palawija yang tidak terlalu banyak membutuhkan air, terutama kedelai, kacang tanah, dan jagung," katanya. [152/WMO/153/141/148/149]



Post Date : 23 Juli 2009