Berharap Sampah Tak Lagi Menumpuk

Sumber:Kompas - 20 Desember 2011
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Akhir November lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten mengetuk palu menyetujui Peraturan Daerah tentang Pengolahan Sampah. Payung hukum tersebut diharapkan mampu mengatasi segala persoalan sampah di kota dan kabupaten seprovinsi, termasuk Kota Tangerang Selatan.
 
Keluarnya Perda ini setidaknya memberikan angin segar bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dalam menyelesaikan masalah sampah yang membelenggu tiga tahun terakhir sejak kota ini dimekarkan dari Kabupaten Tangerang.
 
Bab 8 Perda itu menyebutkan, pemerintah kabupaten atau kota dapat bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan kota dalam mengelola sampah di Banten atas sepengetahuan gubernur.
 
Awal persoalan, sampah membelenggu Tangsel karena Pemerintah Kabupaten Tangerang secara mendadak dan sepihak memutuskan kerja sama pengolahan sampah pada Desember 2009 di saat pemerintahan definitif Tangsel belum terbentuk.
 
Hal tersebut ditandai dengan penarikan 40 armada pengangkut sampah yang diperbantukan sejak kota seluas 147,19 kilometer persegi itu terbentuk pada November 2008, dilanjutkan dengan pelarangan membuang sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatiwaringin, Mauk. Sejak saat itulah, permasalahan sampah Tangsel tak urung selesai hingga tujuh bulan terbentuknya pemerintahan definitif.
 
Menelusuri Jalan Raya Serpong banyak dijumpai sampah tidak terangkut mulai dari Kebon Nanas, perbatasan Kota Tangerang, hingga sebelum kawasan terpadu Bumi Serpong Damai (BSD).
 
Bergeser ke Kecamatan Pamulang, warga memanfaatkan sejumlah lahan kosong, termasuk kawasan pekuburan Benda, sebagai tempat membuang sampah. Lebih parah lagi, warga terpaksa membuang sampah rumah tangga di pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) Angke yang lokasinya berbatasan dengan kawasan Perumahan Vila Pamulang. Sampah memenuhi dataran setinggi 4 meter di pinggiran kali itu.
 
Mengarah ke Kecamatan Ciputat, tumpukan sampah menggunung dalam dua amrol (bak penampung) milik Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman DKPP Kota Tangsel di Pasar Cimanggis. Hanya 5-10 meter dari amrol itu sampah menggunung setinggi 1 meter di lahan kosong. Kondisi serupa terjadi di pasar tradisional lainnya, seperti di Ciputat Permai, Pondok Labu, dan Jombang.
 
DKPP Kota Tangsel mencatat, sampah menumpuk di 25 tempat pembuangan sementara (TPS) yang sebagian besar berupa TPS liar.
 
Sampah yang menumpuk berhari-hari itu menimbulkan bau yang tak sedap, belatung, dan lalat berkeliaran, serta air lindi mengalir hingga ke jalan raya. Tumpukan sampah itu juga merusak estetika kota.
 
Kewalahan
 
Dalam buku Profil Tangsel Tahun 2010, DKPP Kota Tangsel mencatat, volume sampah mencapai 3.200-4.500 meter kubik per hari yang dihasilkan dari 1,3 juta jiwa. Mereka tinggal di 49 kelurahan dan 5 desa di 7 kecamatan. Dari asumsi itu diperkirakan sampah yang dihasilkan 2,5-3 liter per orang per hari.
 
Dari volume itu, sebanyak 20 persen sampah terangkut. Sisanya, sebanyak 60 persen, dikelola masyarakat dengan dibuang ke sungai, lahan kosong, median jalan, dan amrol di pasar tradisional. Sementara 20 persen lainnya dikelola sendiri pengembang besar seperti PT Bintaro Jaya, Alam Sutra, dan BSD, serta rumah sakit.
 
Permasalahan sampah ini belum juga selesai hingga tujuh bulan pemerintah definitif terbentuk. Selain keterbatasan jumlah armada, hingga kini Tangsel belum memiliki TPA atau tempat pengolahan sampah terpadu (TPST).
 
Saat ini, DKPP Kota Tangsel hanya memiliki 11 unit dari kebutuhan ideal 108 unit. Sementara untuk mengelola sampah, Pemkot Tangsel sedang membangun TPA Cipeucang, Serpong. Belum berfungsinya TPA ini menyebabkan petugas kebersihan membuang sampah secara kucing-kucingan ke Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bogor.
 
Sampah yang menumpuk berhari-hari dapat menyebabkan penyakit diare, tifus, kolera, dan kulit, serta memberi dampak buruk usaha skala kecil, menengah, dan besar. Pedagang pasar, misalnya, mengeluhkan penuruan omzet sekitar 10 persen gara-gara tumpukan sampah.
 
Cairan rembesan sampah yang masuk drainase atau sungai mencemari air tanah. Pembuangan sampah di pinggir dan badan sungai menimbulkan ancaman bahaya banjir.
 
Penanganan komprehensif
 
Pengajar Ekonomi Pembangunan Universitas Islam Negeri Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Djaka Badranaya, mengatakan, sampah menjadi permasalahan rumit sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, aman bagi lingkungan, dan dapat mengubah perilaku.
 
Persoalan sampah di Tangsel menandakan buruknya sistem birokrasi pemerintahan setempat. Tangsel adalah contoh betapa daerah tak siap dengan otonomi daerah. Hal itu terlihat dari tak adanya harmonisasi antara Tangsel dan induknya, Kabupaten Tangerang.
 
Solusi penanganan sampah semestinya tak bisa ditunda-tunda karena implikasi dampaknya bisa meluas. Bukan hanya sebatas masalah kesehatan dan lingkungan semata, tetapi juga potensial menghambat laju perekonomian Tangsel yang mengalami perkembangan pesat dari 7,6 persen naik mencapai 8,5 persen atau lebih tinggi dari tingkat nasional yang hanya 6,4 persen.
 
Wali Kota Tansel Airin Rachmi Diany mengakui, hingga kini sampah masih tetap menjadi masalah, dan belum teratasi.
 
”Yang bisa dilakukan saat ini adalah penataan secara bertahap menyesuaikan anggaran. Ini sangat jauh dari harapan masyarakat,” ujar Airin.
 
Penanganan sampah dilakukan bertahap karena dana APBD yang terbatas karena harus dibagi dengan pembangunan infrastruktur, penanganan banjir, transportasi, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
 
2013 bebas sampah
 
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Edy Malonda mengatakan, pihaknya menargetkan tahun 2013 tak ada lagi sampah menumpuk dan berserakan di Tangsel. Selain ketersediaan armada sebanyak 20 unit pada 2012, TPST Cipeucang diharapkan sudah beroperasi. Setiap RW pun akan digerakkan membangun tempat pengumpulan, pengangkutan, dan penimbunan di TPA.
 
Kepala DKPP Kota Tangsel Nur Slamet yakin, penataan pengolahan sampah yang baik akan menambah potensi pendapatan asli daerah dari sektor retribusi sampah.
 
”Pendapatan dari retribusi sampah selama ini mencapai Rp 200 juta. Potensi pendapatan asli masih banyak yang belum tergarap sempurna, misalnya potensi dari tiga kawasan kota terpadu, yakni Alam Sutra, BSD, dan Bintaro Jaya. Kami baru akan mengambil potensi itu jika sudah bisa mengelola dengan baik,” kata Nur Slamet.
 
Sebelum dikelola Tangsel, tiga kawasan terpadu itu mengolah sampah sendiri dengan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang.
 
Saat ini, proses pembahasan Perda tentang Pengelolaan Sampah di Tangsel pun memasuki pembahasan. Airin berharap, Perda yang dibuat provinsi setidaknya bisa membukakan jalan agar terjalin kerja sama pengolahan sampah dengan kota dan kabupaten di Banten.(C Anto Saptowalyono)


Post Date : 20 Desember 2011