|
Tidak ada yang dapat menyangkal jika air merupakan sumber kehidupan. Indonesia yang terletak di wilayah bumi subtropis mendapat anugerah dengan curah hujan tinggi sehingga hutan, sebagai ibu dari air, dapat tumbuh dengan lebih leluasa. Akan tetapi, ketersediaan air tanah yang semestinya melimpah ruah tersebut tidak dirasakan oleh warga kampung nelayan di Desa Kurau, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung. Sejak lama warga di sana menggantungkan sumber air minum dari air hujan. Bila menyusuri kampung yang letaknya sekitar 30 kilometer sebelah tenggara Kota Pangkal Pinang ini, di setiap rumah penduduk dapat dijumpai jeriken-jeriken yang diletakkan di lokasi kucuran air dari atas rumah. Dari air yang merayapi genteng atau seng atap rumah inilah warga mendapatkan air tawar. "Sejak saya lahir, orang-orang sini itu mengumpulkan air hujan untuk air minum. Kalau rumah saya, air dari genteng langsung diarahkan masuk ke bak mandi," tutur ibu Kurnia (30), salah satu warga Kurau yang ditemui, Kamis (26/4). Air di bak mandi tersebut hanya khusus untuk air minum atau keperluan memasak, sedangkan mandi, cuci, termasuk kakus, dilakukan terpisah di muara sungai Kurau atau di genangan air. Pada masa musim hujan, air tawar masih mudah untuk didapatkan. Jeriken tampungan air hujan terlihat terisi walaupun juga tidak begitu bersih. Mandi di muara sungai masih bisa leluasa biarpun kerap surut. Masalah selalu datang begitu masuk ke musim kemarau. Warga terpaksa membeli air yang harganya Rp 500-Rp 1.000 per jeriken (isi 30 liter). Dibelit kesusahan Perjuangan mendapatkan air bersih dan tawar juga diungkapkan Kartino, warga Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan, yang juga pernah bermukim di Kurau. Saat masih tinggal di Kurau, ia memang tidak memanfaatkan air sungai, melainkan dari sumur yang digali di belakang rumahnya. "Pada umumnya air di Bangka ini bersifat asam karena memang tipe tanahnya seperti itu. Rasanya pun setelah dimasak agak masam," ujar Kartino. Untuk mengurangi kadar asam, ia kerap menaburkan kapur, yang biasa untuk melabur tembok, ke dalam air masak. Air tersebut kemudian diendapkan semalam sebelum dikonsumsi keesokan harinya. Kebiasaan itu juga tetap dilakukan saat ia berpindah rumah. "Air yang sifatnya asam itu berdampak pada gigi. Warga di desa saya tinggal dulu itu banyak yang giginya keropos. Karena tak mau gigi keluarga saya keropos, air minum saya beri kapur untuk menetralkan keasamannya," ucap Kartino. Yang lebih memprihatinkan lagi, penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Bangka Belitung menyebutkan 15 sungai besar di Bangka Belitung tidak layak dikonsumsi karena dalam kondisi tercemar. Sungai-sungai tersebut pada umumnya tercemar unsur logam, bersifat asam, dan memiliki tingkat kekeruhan melebihi baku mutu. Anugerah atas kondisi alam yang kaya raya pada akhirnya hanya akan menjadi kutukan bagi mereka yang tidak bisa menjaga dan merawatnya. Sanggupkah kita merawat alam ini atau paling tidak berhenti merusak sumber-sumber air? (l Andreas sarwono) Post Date : 03 Mei 2007 |