Meluapnya Banjir Kanal Timur yang menewaskan S Widodo (11), warga Peterongan, Semarang Selatan, masih terngiang. Bocah kurus berambut pendek tersebut terbujur kaku ketika dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara oleh warga dan aparat kepolisian, pada Selasa (9/6) lalu. Badannya membiru.
Widodo ditemukan meninggal di Jalan Manggis, kawasan Lamper Tengah, Semarang Selatan, akibat hanyut diterjang luapan air Banjir Kanal Timur (BKT).
Tidak hanya Widodo, warga juga tidak menduga BKT akan meluap pada hari itu. Namun, ternyata ribuan rumah di lima kecamatan terendam, yaitu Gayamsari, Pedurungan, Semarang Timur, Semarang Selatan, dan Tembalang, antara 50 sentimeter-1,25 meter.
Air melimpas ke jalan, bangunan, jembatan. Banjir pun tak terelakkan. Berdasarkan data Balai Pengelolaan Sumber Daya Alam Jragung-Tuntang Jawa Tengah, air yang melimpas dari BKT mencapai 180 sentimeter pada Selasa lalu. "Artinya, debit air yang mengalir di BKT melebihi kapasitasnya yaitu 210 meter kubik per detik," kata Kepala Balai PSDA Jragung Tuntang Lukito.
Namun, banjir yang melanda Kota Semarang akibat luapan Banjir Kanal Timur maupun Banjir Kanal Barat (BKB) sebenarnya telah berulang. Pada tahun 1990, misalnya, jebolnya tanggul BKB menewaskan 86 orang dan kerugian mencapai Rp 8,7 miliar.
Padahal, keberadaan Banjir Kanal diharapkan dapat menjadi pengendali banjir di Kota Semarang. Ahli lingkungan dari Universitas Diponegoro Prof Dr Sudharto P Hadi mengatakan, kapasitas tampung Banjir Kanal terus berkurang akibat sedimentasi yang dipicu oleh alih fungsi lahan di kawasan hulu. Hal ini yang mengakibatkan Banjir Kanal meluap.
Hidrolog dari Universitas Diponegoro Dr Robert J Kodoatie mengungkapkan, alih fungsi lahan di daerah hulu dapat mengakibatkan peningkatan debit air mencapai 5-20 kali lipat.
Padahal, kapasitas yang dapat diterima BKT terus berkurang. Robert mencontohkan, pada tahun 1993 kapasitas BKT mencapai 350 meter kubik per detik. Namun, berdasarkan data Balai PSDA Jragung Tuntang, BKT hanya dapat menampung 210 meter kubik per detik pada tahun 2009.
"Apabila debit air dari hulu terus bertambah sementara kapasitas sungai berkurang akibat sedimentasi, banjir akan terus terjadi," kata Robert.
Lukito mengakui, tingginya sedimentasi di Banjir Kanal tergantung dari penanganan lahan di kawasan hulu. "Jika hulu sungai rusak, hal itu berpengaruh terhadap banjir di hilir," katanya. Pendekatan ekosistem
Untuk itu, Sudharto menambahkan, seharusnya terdapat penanganan terhadap daerah aliran sungai (DAS) secara komprehensif dengan pendekatan ekosistem yang melibatkan pemerintah Kabupaten Semarang, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak.
Dalam pendekatan ekosistem ini, pihak yang merawat dan menangani kawasan hulu DAS akan memperoleh insentif dari pemerintah daerah yang lokasinya berada di hilir.
Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan III Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang M Farchan mengatakan, belum ada kerja sama penanganan DAS Banjir Kanal karena tidak ada regulasi yang mengatur manajemen pengelolaan sungai lintas kabupaten/kota.
BKB jarang meluap seperti di BKT. Meski demikian, pemantauan dan pengaturan debit air di BKB menjadi keharusan.
Masiran, penjaga Bendungan Simongan BKB adalah salah satu orang yang bertanggung jawab jika terjadi luapan air di sungai tersebut. Pekerjaan itu sudah dilakoninya selama 37 tahun seorang diri.
"Luapan air datang tiba-tiba, tetapi kalau saya lengah akibatnya akan fatal," kata Masiran. Bendungan Simongan merupakan hulu Kali Semarang. Jika Masiran lupa menutup pintu air ketika BKB meluap, akan terjadi banjir parah di Kota Semarang.
Kini, Masiran sudah berusia 56 tahun. Desember tahun ini, Masiran berencana pensiun karena tubuhnya sudah mulai kepayahan sewaktu membuka pintu bendungan. Jika belum ada penggantinya, Masiran terpaksa menunda pensiunnya. "Semoga ada yang mau. Ya, pekerjaan ini memang berat. Jarang libur tetapi gaji minim," kata Masiran.
Tidak mudah menjadi Masiran, selain memantau ketinggian air setiap lima menit, Masiran juga harus merawat pintu air, membersihkan sampah, dan memotongi rumput yang ada di sekitar bendungan. Harry Susilo dan Herpin Dewanto
Post Date : 15 Juni 2009
|