|
Suarjo (50) duduk di lincak atau kursi panjang dari bambu untuk menunggu giliran mengambil air pekan lalu. Sembari bersandar di papan gardu itu, sesekali ia mengipas-ngipaskan caping kusam dan menyeka peluh yang membasahi dahinya. "Antrenya lama, Mas. Ngantre sekarang, baru besok paginya dapat air," kata lelaki tengah baya yang sudah mengantre sejak Selasa sore itu. Suarjo pernah merasa sangat jengkel ketika jeriken dan embernya dipindah orang tanpa sepengetahuannya. Meski demikian, ia diam dan tidak mau mencari perkara. Sudah empat bulan Kampung Kalialang Baru, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, kekeringan. Debit air Sendang Gayam yang merupakan satu-satunya sumber air bersih di tempat itu sudah turun. Akibatnya, pasokan air yang dialirkan melalui pipa-pipa paralon terkadang mengalir kecil, bahkan sering pula tidak mengalir sama sekali. Keadaan ini sudah dialami warga Kampung Kalialang dalam beberapa tahun terakhir. Jika air sendang yang mengaliri Kampung Kalialang Baru dan Deliksari benar-benar sudah tinggal di dasarnya saja dan mengeruh, warga terpaksa membeli air. Membeli air tentu berarti pengeluaran tambahan. Mereka lalu bertekad mengatasi secara swadaya, tetapi ternyata masih terbentur biaya. "Dua tahun lalu kami membuat kesepakatan membangun bak penampung air berkapasitas sekitar 4.000 liter dengan menggunakan sebagian besar uang jimpitan," kata Suarjo, warga Kalialang Baru RT 3 RW 7. Uang jimpitan senilai Rp 100 yang dikumpulkan setiap hari dari 34 keluarga itu terkumpul sekitar Rp 1.200.000. Dengan uang itu, warga mulai membangun fondasi dan dasaran untuk meletakkan bak penampung. Sayang, bak penampung itu belum selesai, sementara kekeringan mulai mengancam. Pekan lalu bak itu masih berupa fondasi yang terletak di dekat keran yang mengalirkan air dari Sendang Gayam. Adapun bak penampung berwarna biru masih tergeletak di pojok kampung. Suarjo mengaku masih memerlukan sekitar Rp 500.000 untuk menyelesaikan bak penampung air itu. Maka jimpitan pun digalakkan kembali. Menurut dia, bak penampung itu akan digunakan sebagai penampung air Sendang Gayam sebelum musim kering tiba. Bak itu juga berguna untuk menampung air ketika Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Pemerintah Kota Semarang memberi bantuan air. "Bak penampung yang dibangun dari rezeki yang kami kumpulkan sendiri itu kami harap bisa memberikan rezeki baru, yaitu ketersediaan air pada saat-saat air tidak lagi mengalir. Tidak patah semangat Belum selesainya bak penampung air itu tidak membuat warga Kaliarang Baru patah semangat. Seperti biasa, para penduduk masih mengandalkan pikulan dan dua ember yang mampu menampung sekitar 20 liter air untuk mengambil air langsung dari Sendang Gayam. Gayah (46), misalnya, orangtua tunggal yang memiliki lima anak ini setiap hari empat kali mengangsu, mengambil air, ke Sendang Gayam. Ia sepertinya tidak lelah meski harus menempuh jarak 2,5 kilometer lewat jalan mendaki di sekitar hutan jati dan rumput lalang. Perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Perumahan IKIP Semarang ini mengangsu air sekitar pukul 05.00 dan setelah pulang kerja atau sekitar pukul 13.00. Sambil mengangsu, tiga hari sekali ia juga mencuci pakaian-pakaian kotor di Sendang Gayam. Beberapa hari yang lalu, Gayah ikut mengantre air pasokan PDAM Kota Semarang. Namun, ia tidak bisa mendapatkan air bersih yang cukup. "Saya hanya punya dua ember, sedangkan tetangga saya punya jeriken dan tong-tong besar yang bisa menampung banyak," kata dia. Yang sering membuatnya kesal ketika antre air justru semangat gotong royong dan saling membantu di antara warga sering sirna. Beberapa hari lalu, misalnya, ia harus menahan marah dan kekesalan. Air yang sudah ditampung susah payah di embernya diciduki tetangganya. "Penduduk Kalialang memang sering membantu dan bergotong royong satu sama lain. Namun, ketika musim kemarau tiba, tidak jarang bentrok dan perang mulut antarwarga terjadi gara-gara merebutkan air. Malah ada yang pernah pukul-pukulan dengan gayung air," kisah Gayah, yang mengharapkan bak penampung itu bisa cepat selesai. Kesulitan air bersih ternyata menjadi berkah bagi para penganggur di Kampung Kalialang Baru. Dengan pikulan dan menjaga antrean air ketika malam hari, para penganggur tersebut bisa mendapat uang. Susilo (19), misalnya, biasa membantu tetangga-tetangganya mengangsu air ke Sendang Gayam. Bermodal pikulan dan dua ember, ia bisa mendapat Rp 5.000 per hari. Pada malam hari ia menjaga antrean air bersama empat temannya dan berhak memperoleh satu pikul air. Hanya janji Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Semarang Sujitno mengatakan, saat ini sudah ada tiga kecamatan di Kota Semarang yang perlu mendapat perhatian, yakni Kecamatan Gunungpati, Tembalang, dan Tugu. Ia juga mencatat ada lima kecamatan lain yang menjadi langganan kekeringan, yaitu Kecamatan Mijen, Banyumanik, Candisari, Pedurungan, dan Gajahmungkur, yang akan mendapat perhatian berikutnya. Untuk pengadaan bantuan air bersih, Sujitno mengaku sudah berkoordinasi dengan PDAM Kota Semarang. "Tiap kelurahan tinggal menyampaikan laporan dan surat permohonan langsung ke PDAM. Air akan dikirim," katanya. HENDRIYO WIDI Post Date : 23 Juli 2007 |