|
Tubuh Sarimin (30) berdiri condong sejajar kemiringan lereng bukit. Mengandalkan kekuatan dari telapak kaki yang berpijak pada remahnya tanah, Sarimin tangkas bekerja. Ia memancangkan bilah-bilah bambu di tepian lereng. Gemericik suara air pun terdengar kemudian. Bambu-bambu ini menghubungkan mata air di atas bukit dengan rumah saya di bawah sana, papar Sarimin, sambil menunjuk ke jalan setapak di kaki bukit, Senin (25/8). Air yang kemudian mengalir di belahan bilah bambu itu memang hanya sedikit. Namun, ayah satu anak ini amat mensyukurinya. Setidaknya, dengan adanya pipa bambu itu, ia tidak perlu mencari air hingga tiga kilometer ke dusun lain menjelang puncak musim kemarau seperti saat ini. Musim kemarau adalah bencana bagi Sarimin dan ratusan warga Pedukuhan Plampang, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kulon Progo. Satu per satu mata air yang biasanya keluar dari celah-celah lereng bukit berhenti mengalir. Jika ada satu-dua mata air yang masih mengalir, jaraknya cukup jauh. Sarimin sedikit beruntung, ada satu mata air yang belum mati di dekat rumahnya. Akan tetapi, untuk dapat mengalirkan air, ia butuh sarana penyalur. Sarimin memilih menggunakan bambu dengan alasan sederhana: gratis dan mudah dipasang. Sudah bertahun-tahun Sarimin memanfaatkan pipa alam ini. Setiap tiga bulan sekali, bambu harus diganti. Soalnya pasti ada bagian yang dimakan rayap atau ada yang bocor. Jadi, air bisa menetes keluar. Sayang kalau air terbuang begitu saja, ujarnya. Penggunaan bambu sebagai sarana penyaluran air sudah umum di Pedukuhan Plampang. Kemiskinan membuat mereka tidak mampu membeli selang atau pipa paralon. Mayoritas penduduk Plampang berprofesi sebagai petani hutan dan penderes air nira kelapa yang penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari- hari. Kalau menyalurkan air dengan selang, panjangnya bisa lebih dari setengah kilometer. Biayanya juga mahal, lebih dari Rp 1 juta. Saya tidak punya uang sebanyak itu, tutur Sarimin, sambil mengisap rokok linting. Tukiran (35), warga yang lain, menambahkan, sekiranya ia memiliki uang, maka akan dipakai untuk biaya sekolah anak, bukan untuk membeli pipa. Warga Plampang memang jarang keluar dusun karena nyaris tidak ada kendaraan umum yang melintasi tempat tinggal mereka. Hanya ada truk yang sesekali lewat. Berada di ujung barat laut Kulon Progo dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, Pedukuhan Plampang terisolasi. Pusat pelayanan umum terdekat ada di Desa Kalirejo atau Desa Hargomulyo, yang jaraknya lebih dari 10 kilometer dari Plampang. Kalau mau ke pusat kota Wates, ibu kota Kulon Progo, jarak yang harus ditempuh warga akan bertambah dua kali lipat. Kalau tidak naik truk atau sepeda motor, warga terpaksa jalan kaki ke mana-mana. Tidak ada kendaraan angkutan umum yang mau masuk ke Dusun Plampang karena jalannya jelek dan berbatu, kata Tukiran. Sulitnya akses transportasi menuju dusun ini pula yang membuat warga Plampang kesulitan menikmati air bersih di musim kemarau. Ketika warga Kulon Progo lain bisa menikmati bantuan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang disalurkan dengan menggunakan truk-truk tangki atau saluran perpipaan, warga Plampang hanya bisa bermimpi. Seperti halnya angkutan umum, Tukiran menduga truk tangki enggan masuk ke Dusun Plampang dengan melewati jalan rusak dan menanjak. Dugaan ini tidak sepenuhnya salah. Sebab, menurut pengakuan Agus seorang sopir truk tangki PDAMia memang menghindari jalan-jalan yang rusak. Bukan apa-apa, menyopir truk dengan tangki berkapasitas 4.000 liter itu berat. Salah sedikit, truk bisa oleng, dan terjungkal. Tapi, saya tetap akan mendatangi warga di mana saja, termasuk daerah sulit seperti Plampang, ujarnya. Lagi pula, lanjut Tukiran, kalaupun ada penyaluran air bersih di Plampang, ia khawatir bantuan itu akan sia-sia. Pedukuhan Plampang nyaris tanpa bak penampungan air hujan sehingga air yang disalurkan dari truk tangki biasanya hanya ditampung di dalam ember atau drum dengan risiko tumpah. Beberapa waktu sebelumnya, Kepala Bagian Kesejahteraan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Kulon Progo Arief Sudarmanto mengatakan, pihaknya telah membuka kesempatan bagi seluruh warga Kulon Progo yang butuh air bersih untuk mengajukan permohonan. Air bersih akan diberikan secara gratis. Arief menolak anggapan pihaknya membedakan distribusi berdasarkan wilayah tinggal warga. Menurutnya, semua warga memiliki hak yang sama sehingga wajib dipenuhi oleh pemerintah daerah. Hanya pemerintah daerah juga tidak mungkin melakukan jemput bola karena dirasa tidak efisien. Karena itu, warga diminta aktif mengajukan bantuan. Selain air bersih, kami juga sering menyalurkan bantuan sosial kemasyarakatan bagi pembangunan sarana dan prasarana pengadaan air bersih di daerah pelosok. Bahkan, Dusun Plampang I baru mendapatkan bantuan tahun ini, kata Arief. Bantuan sosial dari pemerintah daerah, diakui Arief, memang belum bisa disalurkan secara merata karena anggaran keuangan daerah yang terbatas. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu menyusun prioritas, dan bagi warga yang belum menerima bantuan tersebut diminta bersabar. Meskipun belum masuk ke dalam prioritas penerima bantuan, warga Pedukuhan Plampang sepertinya tetap lapang dada. Kemiskinan dan keterisolasian wilayah tidak lantas membuat mereka patah semangat. Namun sebaliknya, kedua hambatan itu justru berhasil memunculkan ide- ide kreatif guna menyambung hidup. Pipa dari bilah bambu hanya salah satunya. (YOP) Post Date : 26 Agustus 2008 |