|
KEDUA tangan Alisir terlihat gesit memungut timbunan sampah yang baru saja diturunkan dari sebuah truk. Dengan cekatan, tiap jengkal bongkahan sampah tak dilewatinya barang secuil pun. Bau anyir dari gundukan sampah itu tak dihiraukannya. Belum lagi, aroma menyengat dibarengi dengan kerumunan ribuan lalat yang juga bersemayam di balik timbunan sampah. Kondisi itu tak lantas menyurutkan langkahnya. Tak jarang pria bertubuh kerempeng itu harus berebut dengan ratusan sapi yang mencari makan di tempat tersebut. Menggunakan garan dari besi berukuran 1 meter, pria berusia 28 tahun itu mengaduk-aduk sampah. Tak sembarang sampah diambilnya. Matanya sedikit berbinar manakala dijumpai barang bekas berupa plastik, kardus, ember, kaleng, besi, kain, dan botol minuman ringan. Sejurus kemudian, barang bekas tersebut sudah berubah tempat, berada di keranjang yang ditaruh dipunggungnya. Terlebih, jika menemukan barang bekas yang masih dalam kondisi bagus dan berfungsi. Senyum pria kelahiran Desa Mbangkol, Kelurahan Randusari, Kecamatan Karanggede, Boyolali itu, akan mengembang lebar. Alisir tak sendiri, ada ratusan pekerja pria dan wanita seperti dirinya yang menggeluti pekerjaan sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang. Para pemulung itu setiap hari bergelut dengan sampah, demi mendapatkan rupiah di TPA yang dibangun tahun 1991 itu. Sejak beroperasi tahun 1992, di tempat tersebut terdapat 340 lebih pemulung. Mereka datang tak hanya dari Kota Semarang, tetapi juga Boyolali, Weleri, Kendal, Pekalongan, dan Demak. Rata-rata mereka menapaki lahan seluas 44,5 hektare itu sejak tahun 1995. Selama hampir 10 tahun di tempat itu, mereka mengaku bekerja sebagai pemulung lantaran ajakan dari teman. "Ya, daripada di kampung nganggur kan lebih baik bekerja, meski sebagai pemulung yang penting halal," tukas Alisir. Ratusan pemulung tak hanya bekerja di TPA itu, tapi sehari-hari juga tinggal di antara 5-6 juta m3 sampah. Mereka membangun bedeng-bedeng yang dibuat ala kadarnya. Bedeng itu terbuat dari potongan kayu yang ditutup dengan lembaran kain atau kardus. Tempat tersebut hanya untuk berteduh dari panas dan hujan. Di satu-satunya tempat pembuangan akhir di Kota Semarang itu, mereka tidur, makan, mandi, dan melepas penat. Seperti halnya pasangan suami istri Maryani (35) dan Sumyani (31), yang menempati bedeng di sebelah barat. Suami istri asal Boyolali itu, setiap hari menggunakan bilik berukuran 2 x 3 meter sebagai tempat tinggal. (Fahmi Z Mardizansyah-37) Post Date : 12 September 2005 |