Selama ini sudah kerap terjadi ketegangan antara Provinsi DKI Jakarta dan dua provinsi lain, Jawa Barat dan Banten, terkait pengelolaan Sungai Cidanau- Ciujung-Cidurian-Ciliwung-Cisadane-Citarum atau dikenal dengan 6 Ci. Nuansa arogansi daerah mewarnai perselisihan ini.
Salah satu contohnya adalah kasus pasokan air baku sebanyak 400 meter kubik per detik dari Sungai Cisadane, Cikokol, Kabupaten Tangerang, Banten, bagi warga miskin di kawasan Jakarta Barat. Konflik itu berlangsung sejak 2007.
”Sejak MOU (nota kesepakatan) ditandatangani hingga kini tidak bisa direalisasi rencana memasok air untuk sebagian wilayah seperti Kapuk, Kamal, dan Cengkareng,” ungkap Firdaus, anggota Dewan SDA Provinsi DKI Jakarta.
Lokasi instalasi pengolahan air Cikokol berada di Kabupaten Tangerang. Namun, pemasangan pipanya dari Cikokol menuju Jakarta harus melalui Kota Tangerang. Akibatnya, Jakarta harus meminta izin ke Kota Tangerang. ”Permintaan izin tentu harus ada imbalannya. Jakarta tidak mau sehingga MOU itu akhirnya tidak berjalan sampai sekarang,” tutur Firdaus.
Kasus lain adalah tuntutan Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada tahun 2009 yang menginginkan DKI Jakarta membayar pajak untuk pasokan air Waduk Jatiluhur sebesar Rp 52 miliar. ”Pemerintah DKI Jakarta tidak mau membayar karena merasa sudah membayar ke pengelola Waduk Jatiluhur, PT Jasa Tirta II. Untuk apa lagi bayar ke Pemerintah Kabupaten Purwarkata? Tuntutan itu masih jadi persoalan,” tambah Firdaus.
Dengan pengalaman seperti itu bisa dibayangkan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan keputusan presiden yang menetapkan tiga wilayah sungai (WS), yaitu WS Citarum (Jawa Barat), WS Cidanau-Ciujung-Cidurian (Banten), dan WS Ciliwung-Cisadane (DKI Jakarta). Ini hanya akan menambah sengketa antardaerah menyangkut pasokan air.
”Dengan jumlah penduduk mencapai 12,5 juta jiwa dan sebanyak 97,8 persen pasokan air bakunya justru berasal dari luar DKI Jakarta, konflik akan panjang,” ujar Firdaus.
Hal itu diakui oleh Kepala Subdirektorat Hidrologi dan Kualitas Air Ditjen Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PU Abdul Hanan Akhmad, Selasa (5/7). ”Konflik atas air pada suatu waktu pasti akan terjadi. Sebab, sumber daya alam yang satu ini kian hari menjadi sumber daya yang sangat berharga, terlebih untuk warga DKI Jakarta, yang kebutuhan airnya dipasok beberapa sungai yang secara yurisdiksi menjadi kewenangan provinsi lain,” kata Abdul Hanan.
Untuk mengantisipasi konflik dibentuk wadah koordinasi sumber daya air, baik berupa Dewan SDA Provinsi DKI Jakarta maupun Tim Koordinasi Pengelolaan SDA (TKPSDA) WS 6 Ci.
”Wadah koordinasi ini anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, yang terkait pengelolaan sumber daya air dan unsur nonpemerintah. Komposisi keanggotaannya seimbang antara unsur pemerintah dan pemerintah. Wadah ini dibentuk dengan tujuan untuk mengoordinasikan pengelolaan SDA di tingkat provinsi maupun wilayah 6 Ci,” jelas Abdul Hanan lagi. (har)
Post Date : 08 Juli 2011
|