|
Suharno (49), petani Dukuh Glenggong, Desa Krangganharjo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, tersenyum lega. Setelah menunggu giliran selama beberapa hari, ia akhirnya mendapat jatah mengairi setengah hektar lahan jagungnya, Senin (28/7) pagi. "Kalau tidak segera mendapat air, jagung bisa mati karena daunnya sudah layu. Jika mati atau gagal panen, kami mau makan apa?" kata dia. Empat hari menjelang penutupan pintu air Waduk Kedung Ombo, Suharno dan para petani di daerah aliran irigasi waduk itu khawatir tidak mendapat air. Hal itu lantaran para petani mulai dari hulu hingga hilir waduk berlomba-lomba memaksimalkan penggunaan air irigasi. Hampir di setiap saluran irigasi, para petani membendung dan menyedot air sehingga air cepat habis di jalan atau tidak sampai ke hilir. Kalaupun mengalir hingga hilir, air itu sekadar menggenangi seperempat ketinggian saluran irigasi. Suharno mengatakan, para petani lahan irigasi kekurangan air sejak pertengahan Juli. Saat ini, gelontoran air waduk hanya menggenangi saluran irigasi di sekitar lahan sehingga tidak bisa mencapai lahan jagung. Kondisi itu membuat petani Desa Krangganharjo turut membendung dan menyedot air di saluran irigasi mengingat usia jagung 15-30 hari. Setidaknya, petani masih membutuhkan air hingga jagung berusia 100 hari atau siap panen. "Penyedotan itu harus dilakukan secara terburu-buru karena pada 1 Agustus pintu air Waduk Kedung Ombo ditutup. Biaya penyedotan air dengan pompa diesel Rp 13.000 per jam," kata Suharno. Menurutnya, setiap petani hanya mendapat jatah satu kali pengairan yang berlangsung sekitar 20 jam per hektar lahan. Meski demikian, mereka khawatir tidak bisa panen secara maksimal karena pengairan itu hanya memperpanjang usia jagung satu bulan ke depan. "Pada bulan berikutnya, petani hanya memasrahkan pada Sang Pencipta dan alam," kata Suharno. Untuk mempertahankan tanaman penyokong hidup, sejumlah petani lain tidak segan membelokkan air irigasi menuju instalasi pengolahan air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Grobogan ke lahan jagung. Mereka membobol atau menutup saluran irigasi itu dengan patok-patok bambu dan plastik. Kepala Subbagian Pengolahan dan Laboratorium PDAM Grobogan Sutrisno mengatakan, pembelokan air itu terjadi di sejumlah titik saluran air yang belum ada pipanya, antara lain di Desa Truwuli dan Depok, Kecamatan Toroh. Saluran yang belum berpipa itu sepanjang sekitar 17 kilometer, sedangkan yang sudah berpipa panjangnya 3 kilometer. Hal itu mengakibatkan air yang masuk ke instalasi pengolahan air berkurang dari 150 liter per detik menjadi 100 liter per detik. Kondisi itu sudah diperhitungkan dengan kerusakan saluran dan hilangnya air akibat merembes atau menguap. "Kejadian itu membuat jatah pasokan air bagi sekitar 10.000 pelanggan PDAM berkurang. Untuk mengantisipasi pembelokan air itu, kami berpatroli setiap malam menyusuri saluran irigasi sepanjang 17 kilometer itu," katanya. Secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Grobogan M Sumarsono mengatakan, jagung yang belum dipanen seluas 40.549 hektar. Tanaman itu tersebar di lahan tadah hujan, irigasi, dan pengairan lahan kering berbasis embung dan sumur. Untuk mengatasi kekurangan pasokan air lahan irigasi itu, Dinas Pertanian dan Perkebunan telah mengusulkan gelontoran air dari para kelompok tani di daerah aliran irigasi Waduk Kedung Ombo kepada pengelola waduk. Pengelola waduk menyetujui menggelontorkan air tambahan sebesar 1.000 liter per detik pada 25-31 Juli. "Terkait dengan pembelokan air di saluran irigasi PDAM, kami akan turun ke lapangan dan menyadarkan petani agar tidak melakukan hal itu. Mereka perlu memikirkan pula kepentingan orang lain yang sama-sama membutuhkan air," katanya. Hendriyo Widi Post Date : 29 Juli 2008 |