Konferensi Perubahan Iklim PBB di Cancun, Meksiko, enam hari lagi, 10 Desember 2010, usai sudah. Lebih dari 15.000 peserta akan pulang ke negara masing-masing sambil meninggalkan jejak karbon yang luar biasa besar karena mereka naik pesawat terbang. Kesepakatan global tidak akan ada. Kesepakatan bilateral ada di saku mereka yang beruntung, termasuk Indonesia (?).
Di ranah kerja sama multilateral sudah jauh-jauh hari terasa ”tidak akan ada hasil”. Namun, pertemuan yang dihadiri sekitar 15.000 orang, baik dari unsur pemerintah maupun swasta, yang di dalamnya termasuk para ”koboi karbon”, bankir, pemerintah lokal berbagai negara, pengamat, politisi, dan aktivis lingkungan, ini sebenarnya merupakan ajang pasar global. Ada yang menjajakan, ada yang dijajakan, dan ada yang membeli. Barang dagangan paling laris saat ini adalah ”karbon” yang mewakili gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global.
Mulai dari mantan Sekretaris Jenderal Kerangka Kerja PBB atas Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) Yvo de Boer hingga tuan rumah sendiri, Presiden Meksiko Felipe Calderon menyadari bahwa konferensi para negara pihak ke-16 (COP-16) UNFCCC di Moon Palace, Cancun, Meksiko, ini tidak akan membuahkan hasil optimal, yaitu kesepakatan global tentang penurunan emisi GRK dalam jumlah besar seperti direkomendasikan Panel Para Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Kondisi buntu dari COP-15 di Kopenhagen, Denmark, tahun lalu masih berlanjut.
Sementara ”…. Hasil dan keputusan yang dicapai harus merupakan suatu kesepakatan yang bersifat adil dan berimbang bagi semua pihak, terutama demi kesetaraan dari berbagai elemen yang dimandatkan dalam Bali Action Plan,” tutur Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar, yang juga bertindak selaku ketua delegasi Indonesia. Bali Action Plan lahir di COP-13 di Bali, Indonesia, tahun 2007.
Isi Bali Action Plan mencakup berbagai elemen yang menjadi unsur krusial negosiasi, seperti visi bersama (shared vision), mitigasi, adaptasi, pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), pendanaan, alih teknologi dan peningkatan kapasitas (capacity building).
Pada COP-16 ini, semua hal yang bersifat kerja multilateral memang masih ada di meja perundingan. Namun, yang lebih nyata dan dekat adalah beragam kesepakatan bilateral: pemerintah-pemerintah, pemerintah-lembaga keuangan global/regional, pemerintah-korporasi global, pemerintah lokal-pihak luar (idem dito di atas).
Indonesia sukses dalam kerja sama bilateral dengan Norwegia melalui penandatanganan letter of intent pada Mei lalu. Norwegia akan mendanai hingga 1 miliar dollar AS untuk upaya mitigasi melalui hutan dengan skema REDD+ usulan Indonesia. Kerja sama ini berlaku hingga 2012. Sebagai catatan: selepas dua tahun, juga belum jelas bagaimana nasib hutan Indonesia. Sebab, dari laporan Greenpeace ”Uang Perlindungan”, berbagai kementerian (justru) berencana memakai sekitar 63 juta hektar lahan untuk beragam industri pada 2030 sehingga mengancam 40 persen hutan alam yang tersisa.
Dan, ketika komitmen pemerintah dengan Norwegia sudah jelas, ternyata masyarakat yang tinggal di hutan dan sekitar hutan sampai kini belum tahu apa-apa. Menurut HuMa, saat ini ada sekitar 25.000 desa dengan total penduduk sekitar 12,5 juta yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Pihak HuMa mengingatkan, pemerintah harus membuat jaring pengaman lingkungan dan sosial serta akuntabilitas untuk menghormati hak-hak ekonomi, sipil, dan politik komunitas yang tinggal di sekitar hutan dan masyarakat adat.
Hal lain, kemarin dipublikasikan, Bank of America memberikan bantuan pendanaan kepada Kabupaten Berau. Kabupaten ini dikenal dengan sistem konservasi penyunya. Dengan adanya otonomi daerah, para pemilik dana bisa langsung mendatangi para penguasa daerah. Padahal, saat ini pemerintah pusat masih bergelut dengan program peningkatan kapasitas pemerintah daerah untuk pemahaman akan adaptasi, mitigasi, dan pasar karbon terkait pemanasan global dan perubahan iklim. Peningkatan kapasitas ini pun masih terbatas geraknya. Jika demikian halnya, lalu bagaimana pemerintah (pusat dan daerah) yang menggebu-gebu mendapatkan dana untuk program adaptasi atau mitigasi ini membangun ”komunikasi” dengan rakyat?
Yang terjadi di lapangan adalah, petani sendirian terbingung-bingung membaca alam yang semakin ”tidak bersahabat” sehingga masa tanam kacau. Ketika pemerintah mengatakan telah melakukan sesuatu terkait perubahan iklim, di lapangan banyak pelaku, rakyat dan pemerintah daerah, yang masih gagap menanggapinya.
Perlu diingatkan, betapa isu perubahan iklim ini di masa depan akan menjadi komoditas baru pasar bebas. Pendanaan dalam jumlah besar akan berseliweran. Contoh nyata: sudah tersedia dana sekitar 4 miliar dollar AS untuk kurun 2009-2012 bagi program REDD+ melalui UN-REDD (Kompas, 20/11).
Program adaptasi
Di sisi lain, program-program adaptasi—yaitu upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim—yang seharusnya diutamakan oleh Indonesia sebagai negara dengan kerentanan tinggi ternyata tidak terlalu nyata di mata rakyat. Pertanyaan tentang apa yang sudah dilakukan pemerintah terkait perubahan iklim setiap kali mendapat jawaban yang tidak menjawab pertanyaan para nelayan, petani, serta penduduk yang tinggal di pesisir dan pantai, juga masyarakat pada umumnya yang waswas akan semakin kacaunya pola cuaca.
Tak heran jika rakyat tidak mendapat jawaban sebab rencana aksi nasional sebagai panduan berbagai kebijakan pembangunan (rendah karbon) yang berwawasan perubahan iklim (ternyata) belum juga selesai digarap. Masih dalam proses penyempurnaan sejak tahun 2007. Ada jurang yang dalam antara harapan masyarakat untuk bisa memahami perubahan iklim yang dampaknya demikian dekat dengan kehidupan keseharian mereka dan upaya pemerintah mendapat pendanaan dari sistem pendanaan global, yang kini justru lebih menonjol ke program-program mitigasi.
Ibaratnya, pemerintah terus berucap tentang perubahan iklim, tetapi seperti berbicara kepada angin. Sebab, masyarakat di sisi lain putus asa untuk bisa memahaminya. Nelayan hanya paham bahwa ikan tangkapannya semakin sedikit jumlahnya dan petani hanya paham sawahnya semakin sering puso, sementara masyarakat sekitar hutan terbingungkan oleh banyaknya ”orang kota” yang datang dan pergi untuk ”mengukur” hutan wilayah hidup mereka.... Brigitta Isworo L
Post Date : 04 Desember 2010
|