|
Jakarta, Kompas - Air bukanlah komoditas atau barang dagangan. Air bagaimanapun juga barang sosial yang membentuk nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, sangatlah berbahaya bila air diserahkan kepada hukum pasar di mana kelompok masyarakat miskin akan kesulitan mengakses air. Air semestinya di bawah pengawasan otoritas publik dan akses terhadap air tidak boleh diserahkan pada motivasi pasar. Inilah studi kritis oleh special rapporteur untuk air Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disampaikan oleh Direktur Monitoring Sustainability of Globalization Malaysia Charles Santiago dalam sidang uji materi (judicial review) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air di persidangan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (5/1). Saksi lain yang dihadirkan dalam sidang adalah Anamae, aktivis LSM Filipina pemerhati swastanisasi air. Menurut Charles, studi PBB ini sangat kritis terhadap swastanisasi air karena hanya membuat masyarakat miskin tak dapat mengakses air. Studi PBB menyebutkan pengalaman Senegal di mana perusahaan air Perancis telah melakukan swastanisasi air di Senegal. Akibat swastanisasi air, rakyat Senegal diharuskan membayar royalti kepada perusahaan air Perancis sebagai kompensasi karena perusahaan tersebut mengelola air. Harga air di Senegal menjadi sangat mahal, kualitas air memburuk, dan sistem manajemen yang mengucilkan air telah menimbulkan kemiskinan sistemik. "Swastanisasi air merupakan pelanggaran besar terhadap hak asasi manusia. Karena, akibat swastanisasi air, penduduk miskin lebih sedikit mendapatkan air minum," ujar Charles. Ia juga mengutip otoritas air di Thailand yang mengatakan bahwa swastanisasi dapat meningkatkan konflik karena perusahaan-perusahaan swasta telah mengambil air dari badan usaha milik negara yang tidak mendapat untung apa-apa. Dengan swastanisasi air, upaya- upaya memperebutkan air dapat meningkatkan konflik. "Swastanisasi air membuat pemerintah lokal semakin hari semakin kehilangan kontrol atas air dan tidak bisa menyediakan air bagi rakyatnya," ungkap Charles menegaskan. Prinsip Dublin Air sebagai benda ekonomi berawal dari Prinsip Dublin yang dihasilkan dalam Konferensi Air dan Lingkungan Internasional di Dublin, 1992. Dalam pertemuan itu dihasilkan bahwa air bernilai ekonomi dan di dalam seluruh penggunaannya haruslah dikompetisikan. Poin ini tercantum dalam kebijakan Asian Development Bank (ADB) di mana disebutkan perlunya manajemen sumber daya air secara rasional. Yang dimaksud dengan manajemen sumber daya air adalah formalisasi dan klarifikasi atas kepemilikan negara atas air, implementasi full cost pricing, atau prinsip pemulihan untuk meningkatkan efisiensi dari investasi jasa dan penyediaan. Nilai ekonomis air direfleksikan dalam kebijakan dan strategi nasional 2005 dan mekanisme kebijakan full cost pricing sudah harus dijalankan tahun 2015. Charles menjelaskan, saat ini sudah ada 10 negara yang mencoba menjalankan kebijakan full cost pricing, yakni dengan cara mengeluarkan kartu prabayar untuk air. Rakyat diharuskan memiliki kartu prabayar itu. Jika tidak, ia tak akan bisa mendapatkan air. Bila kebijakan ini diberlakukan, rakyat miskin yang tidak punya uang sama sekali tak bisa mengakses air. (VIN) Post Date : 06 Januari 2005 |