|
JAKARTA tidak mungkin bebas dari banjir. Sebab, Jakarta memang daerah banjir. "Ada 13 sungai yang membelah Jakarta," ujar Ir Wahyu Hartomo, SD, Kepala Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PIPWSCC). Setiap sungai, kata Wahyu, secara alamiah memiliki dataran banjir, serta badan air yang punya kapasitas tertentu untuk kondisi normal. Bisa dibayangkan, dengan adanya 13 sungai yang mengalir, otomatis ada 13 dataran sungai di Jakarta. Tidak heran kalau 40 persen daerah Jakarta adalah daerah rawan banjir. Kapasitas daya tampung tiap-tiap sungai itu, menurutnya, juga bergantung pada wilayah tangkapan air (catchment area). Hulu Sungai Ciliwung itu sendiri, menurut Wahyu, punya kapasitas (Q) untuk seratus tahun. Kalau Q seratus tahunnya sudah terlewati, banjir bisa terjadi. Tetapi, Q di atas seratus tahun itu tidak selalu terjadi. Probabilitasnya dapat dibilang rendah sekali. Dulu, ketika Ciliwung meluap, air yang tumpah langsung menempati dataran banjir yang ada di sekitarnya. Ironisnya, kini dataran tempat menampung luapan air sungai itu sudah sesak dipadati manusia. Daerah dataran banjir di Cawang, misalnya, kini sudah jadi pertokoan Carrefour. Tanah yang sudah puluhan tahun dijadikan kawasan Hotel Four Seasons (dulu Hotel Regent), serta kawasan Landmark tempat bercokolnya sejumlah bank swasta di Kuningan, pada zaman baheula termasuk dataran sungai. Setiap tahun pasti kebanjiran. Karena dataran sungai itu diuruk, kini jika terjadi banjir airnya meluap ke daerah lain yang lebih rendah. Tak ada lagi daerah resapan. Itulah kenapa Jakarta tidak mungkin bebas banjir. Dibentuknya PIPWSCC, yang dikelola Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), kini Departemen Pekerjaan Umum (PU), bertujuan mengatasi problem banjir di ibukota. Ada tiga hal yang dilakukan untuk pola pengendalian banjir. Pertama, optimalisasi Banjir Kanal Barat. Kedua, dibangunnya Banjir Kanal Timur. Ketiga, proyek Bendungan Ciawi. Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) dibangun untuk Q seratus tahun. "Secara ekonomi, itu hitungan yang paling feasible," tutur Wahyu saat ditemui Pembaruan, Kamis (27/1) sore. BKT bukan hanya untuk pengendalian banjir saja, tetapi juga prasarana pelabuhan, serta lalu lintas air dengan suasana Water Front. Debit air yang bisa ditampung mencapai 480 m3/detik. Proyek yang dikerjakan sejak 2003 ini diharapkan bisa selesai pada 2008. Adapun Ciliwung dan Banjir Kanal Barat (BKB), menurut Wahyu, didesain oleh Pmerintah Klonial Belanda untuk Q seratus tahun. Tetapi, kapasitas air untuk Q seratus tahun ketika itu hanya sebesar 250-300 meter kubik per detik. "Tidak heran dong, sebab hutan ketika itu kan masih bagus, apalagi Daerah Aliran Sungai belum rusak," tutur Wahyu. Ketika Jakarta diguyur hujan deras, sebanyak 30 persen air masuk ke tanah. Sedangkan 70 persen masuk ke sungai. Tapi kini, akibat kerusakan DAS dan penggundulan hutan di wilayah Bogor, Puncak dan sekitarnya, debit air bisa mencapai 500 m3/detik. Jika musim hujan tiba, 90 persen lebih air mengalir ke sungai, dan hanya kurang dari 10 persen saja yang bisa diserap tanah. DAS sudah jadi rumah, beton, serta lapangan golf. Untuk mengatasi banjir di Jakarta, menurut Wahyu, harus dibangun infrastruktur supaya air bisa ditahan di hulu, dan tidak langsung dikirim ke Jakarta. Bendungan Ciawi dibangun supaya air yang jatuh ke hulu tidak langsung masuk ke Ciliwung dan Kanal Barat. Bendungan di kawasan Gadog, Ciawi, itu rencananya berkapasitas 36 juta m3. Setelah ditahan di Bendungan Ciawi, baru air itu perlahan-lahan dilepas sesuai kapasitas sungai yang dilewatinya. "Agar tidak banjir, salah satu caranya ya Kali Ciliwung ini harus bisa kita kendalikan," papar Wahyu lebih jauh. (E-9) Post Date : 28 Januari 2005 |